Senin, 28 Februari 2011
Gunung Sunda
22.41
Komunitas BARSI
Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu gunung yang terletak di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Sekitar 20 km ke arah utara Kota Bandung, dengan rimbun pohon pinus dan hamparan kebun teh di sekitarnya, gunung Tangkuban Parahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter. Bentuk gunung ini adalah Stratovulcano dengan pusat erupsi yang berpindah dari timur ke barat. Jenis batuan yang dikeluarkan melalui letusan kebanyakan adalah lava dan sulfur, mineral yang dikeluarkan adalah sulfur belerang, mineral yang dikeluarkan saat gunung tidak aktif adalah uap belerang. Daerah Gunung Tangkuban Perahu dikelola oleh Perum Perhutanan. Suhu rata-rata hariannya adalah 17oC pada siang hari dan 2 oC pada malam hari.
Gunung Tangkuban Parahu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.
Sangkuriang
Asal-usul Gunung Tangkuban Parahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi. Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahu itu, sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.
Gunung Tangkuban Parahu ini termasuk gunung api aktif yang statusnya diawasi terus oleh Direktorat Vulkanologi Indonesia. Beberapa kawahnya masih menunjukkan tanda tanda keaktifan gunung ini. Diantara tanda gunung berapi ini adalah munculnya gas belerang dan sumber-sumber air panas di kaki gunung nya diantaranya adalah di kasawan Ciater, Subang.
Keberadaan gunung ini serta bentuk topografi Bandung yang berupa cekungan dengan bukit dan gunung di setiap sisinya menguatkan teori keberadaan sebuah telaga (kawah) besar yang kini merupakan kawasan Bandung. Diyakini oleh para ahli geologi bahwa kawasan dataran tinggi Bandung dengan ketinggian kurang lebih 709 m diatas permukaan laut merupakan sisa dari letusan gunung api purba yang dikenal sebagai Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Parahu merupakan sisa Gunung Sunda purba yang masih aktif. Fenomena seperti ini dapat dilihat pada Gunung Krakatau di Selat Sunda dan kawasan Ngorongoro di Tanzania, Afrika. Sehingga legenda Sangkuriang yang merupakan cerita masyarakat kawasan itu diyakini merupakan sebuah dokumentasi masyarakat kawasan Gunung sunda purba terhadap peristiwa pada saat itu.
Sumber: Wikipedia Indonesia.
Posted in: edukasi
Seni Bandung - Rumentang Siang Jadi Saksi
19.31
Komunitas BARSI
Sejarah ::
Hujah yang turun-menerus pa-da malam2 terakhlr pagelaran ternyata bukanlah merupakan hambatan bagi penonton. Gedung Kesenian "Rumentang Slang" yang berkapasitas terbatas itu senantiasa penuh pengunjung. Bahkan meluap. Hal itu membuk-tikan betapa sungguh kita semua butuh akan hlburan bermutu.
Kesenian 2 yang ditampilkan dalam rangkaian pagelaran peres-mian "Rumentang Slang", secara umum tldaklah mengecewakan. Bahkan memuaskan. Selain varia-tlf, juga cukup dapat mewakill warna2 kesenlan yang hldup dl kawasan Jawa Barat. Selama tujuh malam pagelaran hampir setiap kegiatan kesenlan memperoleh porsinya. Dari mulai kegiatan kesenian anak-anak hlngga remaja dan dewasa, dari mulai group2 kesenian yang amatir, yang bersi-fat study hingga yang benar2 profesional. Leblh dari itu dapat lah dikatakan bahwa pagelaran2 yang diselenggarakan dalam rangkaian Peresmian "Rumentang Siang" dapat memenuhi hampir setiap tingkat apresiasi-kesenian yang ada dalam masyarakat dari mulai yang ala kadarnya hingga yang tinggi.
Pagelaran peresmian Gedung Kesenian "Rumentang Siang" di mulai dengan pertunjukan Topeng Banjet dari Kabupaten Karawang pimpinan All Saban, pada tanggal 10 Januari, beberapa saat setelah gedung itu diresmikan oleh Gu-bernur Solihin. Dengan segala keasllannya, Banjet Karawang me nampllkan dlri. Lineah dan kocak disertai goyang pinggulnya yang speslfik. ] Beberapa i orang mung-kin beranggapan bahwa Topeng Banjet Karawang itu kasar, ba-rangkall dalam dialog. Tetapi itulah clri Karawang. Dengan pengarahan dan tetek-bengek ke-tentuan moral dari penyelenggara. Topeng Banjet dari Karawang justru akan merasa terikat dan akibatnya ia akan kehilangan clrinya yang khas.
Kecuall untuk beberapa hal yang berslfat teknls-kecll, penyelenggara tidak terlampau banyak turut campur. Dan hal itu membe-rikan keleluasaan kepada rom-bongan ethnis dari Kabupaten Karawang untuk ' menampilkan dlri seutuhnya tanpa ikatan keten-tuan apapun. Ternyata dengan begitu memang bermutu dan menghibur.
"Perang Bubat" muncul pada malam kedua. Hal yang baru pada penampilan sandiwara itu ialah bergabungnya dua kelompok kesenian yang hidup di Jawa Barat.
Kesenian Sunda di satu pihak dan kesenian Jawa pada fihak lain. Sandiwara "Perang Bubat" yang merupakan garapan bersama anta-ra perkumpulan sandiwara "Sri Mukti" dengan Ketoprak "Kota Kembang" dan Wayang Orang "Ngesti Utomo" tidaklah bertele-tele seperti kebiasaan pertuhjuk-an2 sandiwara pada tahun2 ter akhir. Kebutuhan akan tata-pang-gung yang "rongkah"-pun yang biasanya merupakah hal yang mutlak adany a dalam setiap pagelaran sandiwara (rakyat) ternyata telah blsa mereka tinggalkan tan-Pa mengganggu pagelaran secara serius. Penyesuaian pentas dari '.. "kebiasaan pemanggungan mereka sehari-hari ke atas panggung sebuah gedung kesenian telah mereka lakukan dengan balk. Kesederhanaan yang demikian telah membantu berkembiingnya imajinasi para penonton secara lebih leluasa. '
Kelemahan yang nampak ada lah "terkalahkan"-nya rombongan Sandiwara Sunda oleh rombongan Sandiwara Jawa dalam kemampu an individuil para pemain. Peme;-ran2tokoh Majapahit secara kons-tan dapat memelihara sikap serta karakterisasinya disertai dialog2 yang tetap mantap. Perhitungan kostumpun memperlihatkan ke unggulan rombongan sandiwara Jawa. Perbedaan itu menyebab kan tidak sinkronnya perpaduan antara keduanya.
Keutuhan sebuah pagelaran tentu saja bukan hanya terletak pada keutuhan masing2 fihak yang antagonistis, apalagi yang satu lebih lemah dari yang lain, tetapi haruslah diciptakan secara kompak. Di sini faktor sutradara sangatlah menentukan. la tidak boleh "memihak". la harus mam-pu memadukan secara sinkron ke dua fihak yang1 antagonistis itu hingga melahirkan satu wangun pagelaran yang utuh dan padu secara keseluruhan.
Matam pagelaran ketiga di "Rumentang Slang" menampilkan kegiatan remaja. Group Teater Remaja Bandung menyuguhkan sebuah drama modern "Tersiar nya Khabar" karya Lady Gregory dan rombongan "Gang Arts Group" menghidangkan beberapa buah lagu rakyat.
Dalam "Tersiarnya Khabar" ide pokok sutradara (Adjat Sudra-djat) tidaklah mengecewakan. Sa-yang sekali ide itu tidak dikem-bangkan ke arah pemeliharaan dan peningkatan kemampuan individuil tiap pemain.
Sementara itu "Gang Arts Group" tidak memperlihatkan ke-lebihan apa2 kecuali kemiskinan penggarapan. Tetapi bagai-manapun pagelaran malam ketiga dalam rangkaian peresmian Gedung Kesenian "Rumentang Siang" itu memang mengandung hikmah. Setidak-tidaknya member! dorongan kepada kita untuk terus membantu pemeliharaandan pengembangan kegiatan kesenian di kalangan remaja, di samping berusaha menyuguhkan hiburan sehat dan bermutu kepada pen onto^ di kalangan remaja itu sendiri.
Malam pertunjukkan paling pendek khabarnya berlangsung pada malam ke empat dengan suguhan variety-show anak-anak Sekolah Dasar dari Kotamadya Bogor <di bawah judul "Di Desa". Satu-satunya r Pertunjukan yang tidak sempat saya saksikan sendiri. Rombongan Kesenian anak2 SD Kotamadya Bogor itu adalah salah satu pemenang pada Pekan Kesenian Sekolah Dasar (PKSD) Jawa Barat 19 74.
Esok malamnya, kemball rombongan sandiwara (rakyat) memperoleh perhatlan penyelenggara untuk disuguhkart Lingkurig Seni "Purwasetra" di bawah pengarahan Moh, Baun Gazali tampil dengan ceritera "Pahlawan Geger
Malela". Pengalaman berpentas "Purwasetra" selama tahun2 terakhlr terutama dalam pertun-ukkan kelilingnya pada hampir di seluruh kota di Jawa Barat (me-ngemban missi Rakgantang dan Keluarga Berencana) membuatnya menjadi sebuah group sandiwara yang fleksibel dengan "keleblhan" teknis pentas terutama dalam memainkan tata-lampu. Bagi pe-nonton2 awam kelebihan teknis seperti itu tentu saja mentak-jubkan.
SETELAH jedah dua malam, pagelaran kesenian dalam rangkaian acara peresmian Gedung Kesenian "Rumentang Siang" di-lanjutkan kembali pada tanggal 17 Januari dengan pagelaran Tarling oleh "Putra Sangkala" dari Kotamadya Cirebon dan pagelaran dramaswara "Nyai Dasimah" oleh Rombongan Kesenian "Ganda Me-kar" pimpinan Ma:ig Koko.
Pagelaran Tarling "Putra Sangkala" malam itu tidaklah sedinamis seperti biasanya. Ceritera yang dipilihnyapun bukanlah ceritera yang "istimewa". Makin terasa bahwa ceritera2 yang melo-dramatis senantiasa lebih cocok ditampilkan oleh Tarling dari pada jenis ceritera lainnya. Agaknya Ajib memang kekurangan waktu dan penggarapa'n yang matang.
Tentang "Nyai Dasimah" karya "Ganda Mekar" yang eksperi-mentil itu ternyata masih terasa tersendat-sendat dalam penam-pilannya. Image kita terhadap karya2 Mang Koko terdahulu seperti Gending Karesmen "Si Kabayan" misalnya, tidak tertan-dingi oleh "Nyai Dasimah". Terasa penat ketika kila menyaksi-kannya. Logat Betawi dengan iringan karawitan Sunda yang dipadu oleh "Ganda Mckar" dalam "Nyai Dasimah", malam itu me-mancing terpecahnya perhatian penonton. Namun bagaimanapun cksperlmen2 harus tetap dilakukan oleh group kesenian yang tidak ingin statis. "Ganda Mekar" dan Mang Koko telah melakukan hal itu. Karcnanya harus terus dikem-bangkan sepanjang "Ganda Mekar" yakin bahwa eksperimcn itu beranjak dari titik pembe-rangkatan yang benar dan dapat dipertanggung-jawabkan.
Sendratari "Ramayana" karya Rombongan Tari "Bale Bandung" pimpinan Abdul Kodir Ilyas yang dipentaskan pada tanggal 18 Januari, memang sudah tercetak seperti itu. Tetapi dukungan karawitan dalam menciptakan suasana yang dikehendaki oleh pagelaran, pada pertunjukan malam itu tidaklah berhasil benar.
Malam terakhir rangkaian acara peresmian "Rumentang Siang" diisi dengan pagelaran Topeng Cisalak dari Kabupaten Bogor dan Gending Karesmen "Prabu Anom Kean Santang" oleh Lingkung
Seni "Dewi Prarhanik" pimpinan Gumbira Tirasondjaja.
Dalam bentuk, Topeng Cisalak tidaklah berbeda terlampau jauh dengan Topeng Banjet dari Karawang. Kalau Topeng Banjet dari Kabupaten Karawang mempergu-nakan bahasa Sunda, maka Topeng Cisalak Kabupaten Bogor mempergunakan bahasa Melayu pasar. Tetapi dalam hal nayaga, Topeng Banjet dari Karawang memang lebih dinamis.
Pagelaran penutup adalah Gending Karesmen "Kean Santang". Sungguh betapa nyamannya kita mendengar alunan tembang Euis Komariah dan kawan2 Kwa vocal, "Dewi Pramanik" memang memi-iiki kemampuan tersendiri. Tetapi sinkronisasi antara vocalis dengan pelaku masih terasa belum padu. Andaikata para pemain mampu menembang sendiri, pertunjukan malam itu tentu akan lebih berhasil. Pemisahan, justru me nyulitkan sinkronisasi. Untuk mencapai perpaduan yang utuh perlu kematangan latihan.
Kelemahan yang nampak pada "Kean Santang" terletak pada kemampuan pemain yang belum berhasil secara sempurna dalam berusaha mengekspresikan ide sutradara.
Demikianlah. "Rumentang Siang" telah diresmikan. Penyem-purnaannya akan terus dilaksana
kan dengan melalui tahapan per-baikan tingkat kedua. Sementara itu adalah merupakan kewajiban kita bersama untuk memelihara dan mengisinya dengan jaenam-pilan karya2 seni yang selektif dan dapat mencerminkan kekaya-an dan keanekaragaman kegiatan seni-budaya Jawa BaratKota Bandung dikenal sebagai kota fashion, musik juga seni. Sudah tak terhitung banyak nya seniman yang besar dan lahir di kota Bandung ini, harry roesli, doel sumbang, mang udjo, asep sunandar sunarya dan banyak seniman lain yang besar juga membesarkan namanya di kota Bandung. Jika membicarakan soal seni di kota Bandung maka tidak akan lepas dari “rumentang siang” ya gedung seni yang sering di jadikan “kojo” untuk pageralan atau helaran seni dan budaya di kota Bandung ini.
Gedung yang terletak di kosambi jln. Baranang siang ini sudah berdiri sejak tahun 30’an, awal nya gedung tersebut merupakan gedung pementasan film atau yang lebih kita kenal sebagai “bioskop” yang bernama Rivoli theater. Tepat nya pada tahun 60’an gedung tersebut menjadi milik Pemda setempat dan kemudian berganti nama menjadi “rumentang siang” selain berganti nama berganti pula fungsi, yang semula biasa dipakai untuk memutar film menjadi tempat pementasan seni. Banyak sekali macam-macam kesenian yang pernah di pentaskan di gedung ini seperti musik,tari bahkan theater dan kesenian budaya budaya sunda.
Rumentang siang berperan besar dalam membesarkan nama Bandung sebagai kota seni. Sudah beberapa tahun belakangan ini sekolah Smp dan Sma di kota Bandung mempunyai esktra kulikuler seni sendiri seperti kabaret dan theater yang bahkan beberapa sudah mandiri tampa bantuan dana dari pihak sekolah. Pertama tama pentas di sekolah mempertunjukan aksi mereka di depan teman-teman dan guru-guru yang terus berkembang hingga dikenal sampai di luar sekolah. Hal tersebut di karenakan gedung Rumentang siang berperan sebagai fasilitas mereka dalam mementaskan aksinya untuk umum, sehingga keberlangsungan theater dan cabaret di sekolah mereka berjalan continue dan berkembang. Dengan ini gedung rumenatng siang perlu dijaga dan diperhatikan oleh warga Bandung khusus nya Pemkot Bandung sendiri. Kalau dilihat langsung keadaan gedung Rumentang siang sangat memprihatin kan, selain kondisinya yang kurang terawat juga karema letak nya yang berada di tengah kondisi kepadatan kota yang sembraut. Mudah-mudahan banyak dari kita tersadar untuk menyadari pentingnya menjaga gedung rumentang siang yang merupakan sejarah budaya, baik merawat fisik dari gedung atau membangun lingkungan yang nyaman di sekitar gedung rumentang siang.
Asal Usul Gunung Tangkuban Perahu
19.24
Komunitas BARSI
Di Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Bandung terdapat sebuah tempat rekreasi yang sangat indah yaitu Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban Perahu artinya adalah perahu yang terbalik. Diberi nama seperti karena bentuknya memang menyerupai perahu yang terbalik. Konon menurut cerita rakyat parahyangan gunung itu memang merupakan perahu yang terbalik. Berikut ini ceritanya.
Beribu-ribu tahun yang lalu, tanah Parahyangan dipimpin oleh seorang raja dan seorang ratu yang hanya mempunyai seorang putri. Putri itu bernama Dayang Sumbi. Dia sangat cantik dan cerdas, sayangnya dia sangat manja. Pada suatu hari saat sedang menenun di beranda istana, Dayang Sumbi merasa lemas dan pusing. Dia menjatuhkan pintalan benangnya ke lantai berkali-kali. Saat pintalannya jatuh untuk kesekian kalinya Dayang Sumbi menjadi marah lalu bersumpah, dia akan menikahi siapapun yang mau mengambilkan pintalannya itu. Tepat setelah kata-kata sumpah itu diucapkan, datang seekor anjing sakti yang bernama Tumang dan menyerahkan pintalan itu ke tangan Dayang Sumbi. Maka mau tak mau, sesuai dengan sumpahnya, Dayang Sumbi harus menikahi Anjing tersebut.
Dayang Sumbi dan Tumang hidup berbahagia hingga mereka dikaruniai seorang anak yang berupa anak manusia tapi memiliki kekuatan sakti seperti ayahnya. Anak ini diberi nama Sangkuriang. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring se lalu ditemani bermain oleh seekor anjing yang bernama Tumang yang dia ketahui hanya sebagai anjing yang setia, bukan sebagai ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa.
Pada suatu hari Dayang Sumbi menyuruh anaknya pergi bersama anjingnya untuk berburu rusa untuk keperluan suatu pesta. Setelah beberapa lama mencari tanpa hasil, Sangkuriang merasa putus asa, tapi dia tidak ingin mengecewakan ibunya. Maka dengan sangat terpaksa dia mengambil sebatang panah dan mengarahkannya pada Tumang. Setibanya di rumah dia menyerahkan daging Tumang pada ibunya. dayanng Sumbi yang mengira daging itu adalah daging rusa, merasa gembira atas keberhasilan anaknya.
Segera setelah pesta usai Dayang Sumbi teringat pada Tumang dan bertanya pada pada anaknya dimana Tumang berada. Pada mulanya Sangkuriang merasa takut, tapa akhirnya dia mengatakan apa yang telah terjadi pada ibunya. Dayang Sumbi menjadi sangat murka, dalam kemarahannya dia memukul Sangkuriang hingga pingsan tepat di keningnya. Atas perbuatannya itu Dayang Sumbi diusir keluar dari kerajaan oleh ayahnya. Untungnya Sangkuriang sadar kembali tapi pukulan ibunya meninggalkan bekas luka yang sangat lebar di keningnya.Setelah dewasa, Sangkuriang pun pergi mengembara untuk mengetahui keadaan dunia luar.
Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik. Segera saja dia jatuh cinta pada wanita tersebut. Wanita itu adalah ibunya sendiri, tapi mereka tidak saling mengenali satu sama lainnya. Sangkuriang melamarnya, Dayang Sumbi pun menerima dengan senang hati. Sehari sebelum hari pernikahan, saat sedang mengelus rambut tunangannya, Dayang Sumbi melihat bekas luka yang lebar di dahi Sangkuriang, akhirnya dia menyadari bahwa dia hampir menikahi putranya sendiri. Mengetahui hal tersebut Dayang Sumbi berusaha menggagalkan pernikahannya. Setelah berpikir keras dia akhirnya memutuskan untuk mengajukan syarat perkawinan yang tak mungkin dikabulkan oleh Sangkuriang. Syaratnya adalah: Sangkuriang harus membuat sebuah bendungan yang bisa menutupi seluruh bukit lalu membuat sebuah perahu untuk menyusuri bendungan tersebut. Semua itu harus sudah selesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang mulai bekerja. Cintanya yang begitu besar pada Sangkuriang memberinya suatu kekuatan aneh. Tak lupa dia juga menggunakan kekuatan yang dia dapat dari ayahnya untuk memanggil jin-jin dan membantunya. Dengan lumpur dan tanah mereka membendung air dari sungai dan mata air. Beberapa saat sebelum fajar, Sangkuriang menebang sebatang pohon besar untuk membuat sebuah perahu. Ketika Dayang Sumbi melihat bahwa Sangkuriang hampir menyelesaikan pekerjaannya, dia berdoa pada dewa-dewa untuk merintangi pekerjaan anaknya dan mempercepat datangnya pagi.
Ayam jantan berkokok, matahari terbit lebih cepat dari biasanya dan Sangkuriang menyadari bahwa dia telah ditipu. Dengan sangat marah dia mengutuk Dayang Sumbi dan menendang perahu buatannya yang hampir jadi ke tengah hutan. Perahu itu berada disana dalam keadaan terbalik, dan membentuk Gunung Tangkuban Perahu(perahu yang menelungkub). Tidak jauh dari tempat itu terdapat tunggul pohon sisa dari tebangan Sangkuriang, sekarang kita mengenalnya sebagai Bukit Tunggul. Bendungan yang dibuat Sangkuriang menyebabkan seluruh bukit dipenuhi air dan membentuk sebuah danau dimana Sangkuriang dan Dayang Sumbi menenggelamkan diri dan tidak terdengar lagi kabarnya hingga kini.
Sumber: www.bapusda.com
Beribu-ribu tahun yang lalu, tanah Parahyangan dipimpin oleh seorang raja dan seorang ratu yang hanya mempunyai seorang putri. Putri itu bernama Dayang Sumbi. Dia sangat cantik dan cerdas, sayangnya dia sangat manja. Pada suatu hari saat sedang menenun di beranda istana, Dayang Sumbi merasa lemas dan pusing. Dia menjatuhkan pintalan benangnya ke lantai berkali-kali. Saat pintalannya jatuh untuk kesekian kalinya Dayang Sumbi menjadi marah lalu bersumpah, dia akan menikahi siapapun yang mau mengambilkan pintalannya itu. Tepat setelah kata-kata sumpah itu diucapkan, datang seekor anjing sakti yang bernama Tumang dan menyerahkan pintalan itu ke tangan Dayang Sumbi. Maka mau tak mau, sesuai dengan sumpahnya, Dayang Sumbi harus menikahi Anjing tersebut.
Dayang Sumbi dan Tumang hidup berbahagia hingga mereka dikaruniai seorang anak yang berupa anak manusia tapi memiliki kekuatan sakti seperti ayahnya. Anak ini diberi nama Sangkuriang. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring se lalu ditemani bermain oleh seekor anjing yang bernama Tumang yang dia ketahui hanya sebagai anjing yang setia, bukan sebagai ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa.
Pada suatu hari Dayang Sumbi menyuruh anaknya pergi bersama anjingnya untuk berburu rusa untuk keperluan suatu pesta. Setelah beberapa lama mencari tanpa hasil, Sangkuriang merasa putus asa, tapi dia tidak ingin mengecewakan ibunya. Maka dengan sangat terpaksa dia mengambil sebatang panah dan mengarahkannya pada Tumang. Setibanya di rumah dia menyerahkan daging Tumang pada ibunya. dayanng Sumbi yang mengira daging itu adalah daging rusa, merasa gembira atas keberhasilan anaknya.
Segera setelah pesta usai Dayang Sumbi teringat pada Tumang dan bertanya pada pada anaknya dimana Tumang berada. Pada mulanya Sangkuriang merasa takut, tapa akhirnya dia mengatakan apa yang telah terjadi pada ibunya. Dayang Sumbi menjadi sangat murka, dalam kemarahannya dia memukul Sangkuriang hingga pingsan tepat di keningnya. Atas perbuatannya itu Dayang Sumbi diusir keluar dari kerajaan oleh ayahnya. Untungnya Sangkuriang sadar kembali tapi pukulan ibunya meninggalkan bekas luka yang sangat lebar di keningnya.Setelah dewasa, Sangkuriang pun pergi mengembara untuk mengetahui keadaan dunia luar.
Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik. Segera saja dia jatuh cinta pada wanita tersebut. Wanita itu adalah ibunya sendiri, tapi mereka tidak saling mengenali satu sama lainnya. Sangkuriang melamarnya, Dayang Sumbi pun menerima dengan senang hati. Sehari sebelum hari pernikahan, saat sedang mengelus rambut tunangannya, Dayang Sumbi melihat bekas luka yang lebar di dahi Sangkuriang, akhirnya dia menyadari bahwa dia hampir menikahi putranya sendiri. Mengetahui hal tersebut Dayang Sumbi berusaha menggagalkan pernikahannya. Setelah berpikir keras dia akhirnya memutuskan untuk mengajukan syarat perkawinan yang tak mungkin dikabulkan oleh Sangkuriang. Syaratnya adalah: Sangkuriang harus membuat sebuah bendungan yang bisa menutupi seluruh bukit lalu membuat sebuah perahu untuk menyusuri bendungan tersebut. Semua itu harus sudah selesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang mulai bekerja. Cintanya yang begitu besar pada Sangkuriang memberinya suatu kekuatan aneh. Tak lupa dia juga menggunakan kekuatan yang dia dapat dari ayahnya untuk memanggil jin-jin dan membantunya. Dengan lumpur dan tanah mereka membendung air dari sungai dan mata air. Beberapa saat sebelum fajar, Sangkuriang menebang sebatang pohon besar untuk membuat sebuah perahu. Ketika Dayang Sumbi melihat bahwa Sangkuriang hampir menyelesaikan pekerjaannya, dia berdoa pada dewa-dewa untuk merintangi pekerjaan anaknya dan mempercepat datangnya pagi.
Ayam jantan berkokok, matahari terbit lebih cepat dari biasanya dan Sangkuriang menyadari bahwa dia telah ditipu. Dengan sangat marah dia mengutuk Dayang Sumbi dan menendang perahu buatannya yang hampir jadi ke tengah hutan. Perahu itu berada disana dalam keadaan terbalik, dan membentuk Gunung Tangkuban Perahu(perahu yang menelungkub). Tidak jauh dari tempat itu terdapat tunggul pohon sisa dari tebangan Sangkuriang, sekarang kita mengenalnya sebagai Bukit Tunggul. Bendungan yang dibuat Sangkuriang menyebabkan seluruh bukit dipenuhi air dan membentuk sebuah danau dimana Sangkuriang dan Dayang Sumbi menenggelamkan diri dan tidak terdengar lagi kabarnya hingga kini.
Sumber: www.bapusda.com
Posted in: edukasi
Dodol Garut
17.38
Komunitas BARSI
Dodol Garut merupakan makanan khas dari kota Garut provinsi Jawa Barat. Terdapat banyak jenis dari dodol Garut ini, diantaranya adalah dodol wijen, dodol nanas, dodol tomat, dodol durian, dodol coklat, dan masih banyak lagi jenis-jenisnya. Dodol ini termasuk kepada makanan camilan karena rasanya yang manis.
Terdapat banyak sekali toko-toko atau warung-warung yang menyajikan dodol sebagai jualannya. Di sepanjang jalan kota Garut banyak penjual yang menjajakan dodol garut, terutama di jalan-jalan yang sebagai pintu gerbang ke daerah lain di sekitar kota Garut.
Dodol adalah sejenis makanan yang dikategorikan dalam jenis makanan manis. Untuk membuat dodol yang bermutu tinggi cukup sulit karena proses pembuatannya yang lama dan membutuhkan keahlian. Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat dodol terdiri dari santan kelapa, tepung beras, gula pasir, gula merah dan garam.
Dalam tahap pembuatannya, bahan-bahan dicampur bersama dalam kuali yang besar dan dimasak dengan api sedang. Dodol yang dimasak tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan, karena jika dibiarkan begitu saja, maka dodol tersebut akan hangus pada bagian bawahnya dan akan membentuk kerak. Oleh sebab itu, dalam proses pembuatannya campuran dodol harus diaduk terus menerus untuk mendapatkan hasil yang baik. Waktu pemasakan dodol kurang lebih membutuhkan waktu 4 jam dan jika kurang dari itu, dodol yang dimasak akan kurang enak untuk dimakan. Setelah 2 jam, pada umumnya campuran dodol tersebut akan berubah warnanya menjadi cokelat pekat. Pada saat itu juga campuran dodol tersebut akan mendidih dan mengeluarkan gelembung-gelembung udara.
Untuk selanjutnya, dodol harus diaduk agar gelembung-gelembung udara yang terbentuk tidak meluap keluar dari kuali sampai saat dodol tersebut matang dan siap untuk diangkat. Yang terakhir, dodol tersebut harus didinginkan dalam periuk yang besar. Untuk mendapatkan hasil yang baik dan rasa yang sedap, dodol harus berwarna coklat tua, berkilat dan pekat. Setelah itu, dodol tersebut bisa dipotong dan dimakan. Biasanya dodol dihidangkan kepada para tamu di hari-hari tertentu seperti hari-hari perayaan besar.
Lebih lanjut tentang: Dodol Garut
Terdapat banyak sekali toko-toko atau warung-warung yang menyajikan dodol sebagai jualannya. Di sepanjang jalan kota Garut banyak penjual yang menjajakan dodol garut, terutama di jalan-jalan yang sebagai pintu gerbang ke daerah lain di sekitar kota Garut.
Dodol adalah sejenis makanan yang dikategorikan dalam jenis makanan manis. Untuk membuat dodol yang bermutu tinggi cukup sulit karena proses pembuatannya yang lama dan membutuhkan keahlian. Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat dodol terdiri dari santan kelapa, tepung beras, gula pasir, gula merah dan garam.
Dalam tahap pembuatannya, bahan-bahan dicampur bersama dalam kuali yang besar dan dimasak dengan api sedang. Dodol yang dimasak tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan, karena jika dibiarkan begitu saja, maka dodol tersebut akan hangus pada bagian bawahnya dan akan membentuk kerak. Oleh sebab itu, dalam proses pembuatannya campuran dodol harus diaduk terus menerus untuk mendapatkan hasil yang baik. Waktu pemasakan dodol kurang lebih membutuhkan waktu 4 jam dan jika kurang dari itu, dodol yang dimasak akan kurang enak untuk dimakan. Setelah 2 jam, pada umumnya campuran dodol tersebut akan berubah warnanya menjadi cokelat pekat. Pada saat itu juga campuran dodol tersebut akan mendidih dan mengeluarkan gelembung-gelembung udara.
Untuk selanjutnya, dodol harus diaduk agar gelembung-gelembung udara yang terbentuk tidak meluap keluar dari kuali sampai saat dodol tersebut matang dan siap untuk diangkat. Yang terakhir, dodol tersebut harus didinginkan dalam periuk yang besar. Untuk mendapatkan hasil yang baik dan rasa yang sedap, dodol harus berwarna coklat tua, berkilat dan pekat. Setelah itu, dodol tersebut bisa dipotong dan dimakan. Biasanya dodol dihidangkan kepada para tamu di hari-hari tertentu seperti hari-hari perayaan besar.
Lebih lanjut tentang: Dodol Garut
Posted in: edukasi,Serba Serbi
Misteri sumur bandung
17.33
Komunitas BARSI
Nama kota Bandung ternyata diambil dari sebuah sumur yang dikeramatkan orang. Sumur itu bernama Sumur Bandung. Ia adalah sumur purba yang terbentuk karena suatu keajaiban. Sumur ini sebenarnya ada dua. Lokasi keduanya berada tepat di pusat kota. Persisnya di tepi sungai Cikapundung yang membelah kota Bandung. Kedua sungai ini jaraknya berdekatan. Hanya dipisah jalan protokol Asia Afrika. Uniknya, meski di atas Sumur Bandung yang satu, telah berdiri bangunan kokoh. Meski begitu, keberadaan Sumur Bandung dibiarkan tetap utuh. Bahkan diberi penutup berhiaskan mirip mahkota. Sehingga ada kesan bila sumur ini dihormati dan dijaga kelestariannya. Lokasi sumur yang satu ini terletak di lantai dasar Gedung PLN Distribusi Jawa Barat. Keberadaannya sangat terawat. Bahkan airnya sering diambil oleh para pejabat PLN dan masyarakat umum untuk dibawa pulang. Menurut kabar, air itu sangat mujarab untuk mengobati berbagai penyakit. Uniknya lagi, aula gedung PLN ini pun diberi nama Bale Sumur Bandung. Pemberian nama aula itu pun mengandung cerita mistik yang menarik untuk disimak. Menurut Kusnadi (52), Kuncen Sumur Bandung di gedung PLN, nama aula tersebut merupakan pemberian penghuni gaib sumur purba itu. Sehari sebelum aula itu diresmikan, dewi penghuni sumur memberi isyarat. Semula, kata Kusnadi, aula itu sudah dipersiapkan bernama Graha Sumur Bandung. Namun tiba-tiba Kusnadi dan Heri, kuncen Sumur Bandung, mendapat bisikan gaib dari dewi penghuni sumur itu. Akhirnya melalui sebuah komunikasi gaib, penghuni gaib sumur itu meminta nama Graha Sumur Bandung diubah menjadi Bale Sumur Bandung. “Pesan gaib itu lalu kami sampaikan kepada pimpinan. Dan ternyata pimpinan menyetujui perubahan nama itu,” tutur Kusnadi. Sumur Bandung yang satunya lagi, terletak di bawah gedung Miramar. Gedung ini lokasinya di seberang gedung PLN atau berjarak sekitar 20 meter. Bangunan bekas pertokoan lima lantai ini kini telah diratakan dengan tanah. Kabarnya, areal bekas gedung Miramar ini akan dibangun sebuah pusat perbelanjaan modern. Dulu Pemkot Bandung pernah menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta untuk dikelola menjadi komplek pertokoan modern. Sebab dilihat dari segi bisnis, lokasi gedung Miramar sangat strategis. Namun, rencana itu tertunda hingga kini. Bahkan setelah berkali-kali ditenderkan, tetap tak ada investor yang mau membuka usaha di situ. Apa sebab ? Ada keyakinan, gagalnya mengubah gedung Miramar menjadi pertokoan modern, karena adanya sumur Bandung yang dihuni kekuatan dari dimensi gaib. Dewi Kentringmanik Soal nama Sumur Bandung memang sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Bandung. Beberapa nama tempat dan jalan di kota Bandung, ada yang diberinama Sumur Bandung. Konon, keberadaan sumur ini sangat erat kaitannya dengan keberadaan seorang dewi yang cantik jelita. Seorang bekas sipir penjara Banceuy dahulu sebelum dipindah ke LP Sukamiskin Bandung, kepada Kuncen Bandung, Ir Haryoto Kunto (almarhum), pernah bercerita soal Sumur Bandung. Katanya, Sumur Bandung adalah singgasananya penguasa gaib kota Bandung. Orang yang suka mengembara ke alam gaib ini lantas menyebut bahwa penghuni sumur itu adalah seorang putri bernama Kentringmanik. Kentringmanik adalah seorang dewi yang cantik rupawan. Di singgasananya itu, ia tinggal bersama saudara pengiringnya, yakni Eyang Dipayasa. Oleh seorang penulis asal Belanda, WH Hoogland, dewi Kentringmanik disebut pula sebagai Bron Goding, atau dewi penguasa mata air sungai Citarum. Dalam Wawacan Guru Gantangan, disebut pula adanya seorang tokoh Kentringmanik Mayang Sunda. Dia adalah salah seorang permaisuri Prabu Siliwangi yang punya putra bernama Guru Gantangan. Sanghyang Guru Gantangan yang Brahmana Lelana ini adalah putra Prabu Banjarsari dari istrinya yang ke-74, yakni Ken Buniwangi. Cuma, yang jadi pertanyaan adalah, apakah Kentringmanik Mayang Sunda ini pula yang menghuni Sumur Bandung. Penguasa Alam Gaib Sebagian warga Bandung memang ada yang meyakini bila alam gaib kota Bandung dikuasai dewi Kentringmanik ini. Hal ini berdasarkan fakta-fakta, ketika kondisi politik tanah air sedang bergejolak dan dimana-mana terjadi kerusuhan, Bandung sebagai salah satu dari lima kota terbesar di tanah air, nyaris tak pernah terjadi kerusuhan. Konon hal itu karena alam Bandung dihuni oleh penguasa gaib yang menjaga ketenteraman warganya. Menurut almahum Haryoto Kunto dalam buku Semerbak Bandung, sebelum kota Bandung berubah rupa seperti saat ini, dahulu ditemukan banyak kuburan. “Orang Bandung tempo dulu, mengubur anggota keluarganya yangmeninggal di halaman rumah,” tuturnya dalam buku itu. Penduduk Bandung baheula, katanya, sangat meyakini falsafah kuburan sebagai tempat yang tenang dan damai. Tidak heran bila setiap halaman rumah selalu ada kuburannya. Kondisi itu bertahan hingga tahun 1906, ketika kemudian pemerintah Belanda mengeluarkan larangan mengubur mayat di halaman rumah. Jadi sebenarnya, di tengah hiruk pikuk Bandung, di bawahnya merupakan kuburan-kuburan penduduk Bandung tempo dulu. Selain karena keberadaan dewi Kentringmanik, keadaan itu pula yang menyebabkan Bandung terasa sejuk dan adem ayem.
Wallahualam bishawab
Wallahualam bishawab
Posted in: edukasi
Sejarah Kota Bandung
17.26
Komunitas BARSI
Era Pajajaran
Daerah yang sekarang dikenal dengan nama Bandung semula adalah ibukota Kerajaan Padjajaran (tahun 1488). Namun dari penemuan arkeologi kuno, kota tersebut adalah rumah bagi Australopithecus, Manusia Jawa. Mereka tinggal di pinggiran sungai Cikapundung sebelah Utara Bandung, dan di pesisir Danau Bandung. Gambar dan fragmen dari sisa tengkorak dan artifak Batu Api, dapat dilihat di Museum Geologi Jl. Diponegoro 57. Bandung.
Era Kolonial Belanda
Pada tahun 1786 mulailah dibangun jalan yang menghubungkan Jakarta, Bogor, Cianjur dan Bandung. Arus pendatang dari Eropa meningkat pada tahun 1809 saat Louis Napoleon, penguasa Belanda, memerintahkan Gubernur Jendral H.W. Daendels, untuk meningkatkan pertahanan di Jawa melawan Inggris. Untuk mengirimkan logistik mereka memerlukan jalan. Karena daerah pantai banyak terdapat rawa-rawa, akhirnya mereka membangun jalan ke arah selatan, melewati dataran tinggi Priangan.
The Groote Postweg (Jalur Pos Terhebat) dibangun 11 mil ke arah utara sampai ke jantung kota Bandung. Seperti biasa dengan kecekatannya, Daendels memerintahkan bahwa ibukota direlokasikan ke jalan tersebut. Bupati Wiranatakusumah II memilih sebuah tempat di bagian selatan jalan dari sisi sungai sebelah barat Cikapundung, dekat sepasang sumur keramat, Sumur Bandung, yang menurut rumor di lindungi oleh dewi Nyi Kentring Manik. Di daerah ini dia membangun dalemnya (istananya) dan alun-alun (pusat kota). Mengikuti orientasi tradisional, Mesjid Agung di tempatkan di sisi selatan, dan pasar tradisional di sisi timur. Rumahnya dan Pendopo (tempat pertemuan) terletak di bagian selatan menghadap gunung keramat Tangkuban Perahu. Saat itulah Kota Kembang lahir.
Sekitar pertengahan abad ke 19, Amerika Selatan cinchona (quinine), teh Assam, dan kopi diperkenalkan pada para dataran tinggi. Pada akhir abad itu Priangan terdaftar sebagai daerah pertanian paling menguntungkan se-propinsi. Pada tahun 1880 rel kereta api menghubungkan Jakarta dan Bandung telah selesai, dan menjanjikan perjalanan selama 2 1/2 jam dari keramaian ibukota Jakarta ke Bandung.
Dengan perubahan gaya hidup di Bandung, hotel, cafe, pertokoan muncul untuk melayani para petani yang entah datang dari dataran tinggi atau dari ibukota sampai daerah pesiar di Bandung. Kalangan masyarakat Concordia terbentuk dan dengan ruang tarinya yang besar merupakan magnet yang menarik orang untuk menghabiskan akhir pekan di kota. Hotel Preanger dan Savoy Homann adalah hotel-hotel pilihan. Braga di sepanjang trotoarnya terdapat toko-toko eksklusive Eropa.
Dengan adanya rel kereta api, cahaya perindustrian berkembang. Begitu panen tanaman mentah telah dapat langsung dikirimkan ke Jakarta untuk pengiriman lewat laut ke Eropa, sekarang proses utama dapat dilakukan secara efisien di Bandung. Orang Cina yang tidak pernah tinggal di Bandung berangsur-angsur datang untuk membantu menjalankan beberapa fasilitas dan mesin dan pelayanan bagi industri-industri baru. Pecinan muncul pada masa ini.
Pada masa awal abad ini, Pax Neerlandica di proklamasikan, menghasilkan perubahan dari pemerintahan militer menjadi sipil. Dengan ini muncul polis tentang desentralisasi untuk meringankan beban administrasi dari pemerintahan pusat. Dan demikianlah Bandung menjadi kotamadya pada tahun 1906.
Perubahan ini memberikan dampak besar pada kota. Balai kota dibangun di ujung utara Braga untuk mengakomodasi pemerintahan yang baru, terpisah dari sistem masyarakat yang asli. Ini kemudian di ikuti oleh pengembangan yang jauh lebih besar saat markas besar militer dipindahkan dari Batavia ke Bandung sekitar tahun 1920. Tempat yang dipilih adalah di bagian timur Balai Kota, dan yang didalamnya terdapat tempat tinggal bagi Panglima perang, kantor, barak, dan gudang persenjataan.
Pada awal abad ke-20 kebutuhan untuk mempunyai seorang profesional yang memiliki kemampuan khusus menggerakan pendirian sekolah tinggi teknik yang disponsori oleh warga kota Bandung. Pada saat yang sama rencana untuk memindahkan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung sudah matang, kota ini di perluas ke utara. Distrik ibukota ditempatkan di bagian timur laut, daerah yang tadinya adalah persawahan, dan sebuah jalan raya direncanakan untuk dibuat sepanjang 2.5 kilometer menghadap Gunung Tangkuban Perahu dengan Gedung Sate di ujung selatan, dan sebuah monumen kolosal disisi lainnya. Pada kedua sisi dari gedung yang megah ini akan terdapat permukiman bagi kantor-kantor milik permerintahan kolonial.
Sepanjang bantaran sungai Cikapundung diantara pemandangan alam terdapat Kampus Technische Hoogeschool, asrama dan bagian pengurus. Bangunan tua kampus ini dan pemandangannya mencerminkan arsiteknya yang genius Henri Maclain Pont. Di bagian barat daya disediakan untuk rumah sakit dan institute Pasteur, di lingkungan pabrik kina yang tua. Pembangunan ini direncanakan dengan sangat teliti mulai dari arsitekturnya dan perawatan secara detail. Tahun sebelumnya tidak lama sebelum pecahnya perang dunia ke 2 merupakan tahun keemasan bagi Bandung dan dikenang sebagai Bandung Tempoe Doeloe.
Tonggak-Era Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, Bandung menjadi ibukota provinsi Jawa Barat. Bandung merupakan tempat terjadinya konferensi Bandung pada tanggal 18 April – 24 April 1955 dengan tujuan untuk promosi ekonomi dan kerjasama budaya antara negara Afrika dan Asia, dan untuk melawan ancaman kolonialisme dan neokolonialisme oleh Amerika Serikat, Uni Soviet atau negara-negara imperialis lainnya.
Sumber : Wikipedia.org
Daerah yang sekarang dikenal dengan nama Bandung semula adalah ibukota Kerajaan Padjajaran (tahun 1488). Namun dari penemuan arkeologi kuno, kota tersebut adalah rumah bagi Australopithecus, Manusia Jawa. Mereka tinggal di pinggiran sungai Cikapundung sebelah Utara Bandung, dan di pesisir Danau Bandung. Gambar dan fragmen dari sisa tengkorak dan artifak Batu Api, dapat dilihat di Museum Geologi Jl. Diponegoro 57. Bandung.
Era Kolonial Belanda
Pada tahun 1786 mulailah dibangun jalan yang menghubungkan Jakarta, Bogor, Cianjur dan Bandung. Arus pendatang dari Eropa meningkat pada tahun 1809 saat Louis Napoleon, penguasa Belanda, memerintahkan Gubernur Jendral H.W. Daendels, untuk meningkatkan pertahanan di Jawa melawan Inggris. Untuk mengirimkan logistik mereka memerlukan jalan. Karena daerah pantai banyak terdapat rawa-rawa, akhirnya mereka membangun jalan ke arah selatan, melewati dataran tinggi Priangan.
The Groote Postweg (Jalur Pos Terhebat) dibangun 11 mil ke arah utara sampai ke jantung kota Bandung. Seperti biasa dengan kecekatannya, Daendels memerintahkan bahwa ibukota direlokasikan ke jalan tersebut. Bupati Wiranatakusumah II memilih sebuah tempat di bagian selatan jalan dari sisi sungai sebelah barat Cikapundung, dekat sepasang sumur keramat, Sumur Bandung, yang menurut rumor di lindungi oleh dewi Nyi Kentring Manik. Di daerah ini dia membangun dalemnya (istananya) dan alun-alun (pusat kota). Mengikuti orientasi tradisional, Mesjid Agung di tempatkan di sisi selatan, dan pasar tradisional di sisi timur. Rumahnya dan Pendopo (tempat pertemuan) terletak di bagian selatan menghadap gunung keramat Tangkuban Perahu. Saat itulah Kota Kembang lahir.
Sekitar pertengahan abad ke 19, Amerika Selatan cinchona (quinine), teh Assam, dan kopi diperkenalkan pada para dataran tinggi. Pada akhir abad itu Priangan terdaftar sebagai daerah pertanian paling menguntungkan se-propinsi. Pada tahun 1880 rel kereta api menghubungkan Jakarta dan Bandung telah selesai, dan menjanjikan perjalanan selama 2 1/2 jam dari keramaian ibukota Jakarta ke Bandung.
Dengan perubahan gaya hidup di Bandung, hotel, cafe, pertokoan muncul untuk melayani para petani yang entah datang dari dataran tinggi atau dari ibukota sampai daerah pesiar di Bandung. Kalangan masyarakat Concordia terbentuk dan dengan ruang tarinya yang besar merupakan magnet yang menarik orang untuk menghabiskan akhir pekan di kota. Hotel Preanger dan Savoy Homann adalah hotel-hotel pilihan. Braga di sepanjang trotoarnya terdapat toko-toko eksklusive Eropa.
Dengan adanya rel kereta api, cahaya perindustrian berkembang. Begitu panen tanaman mentah telah dapat langsung dikirimkan ke Jakarta untuk pengiriman lewat laut ke Eropa, sekarang proses utama dapat dilakukan secara efisien di Bandung. Orang Cina yang tidak pernah tinggal di Bandung berangsur-angsur datang untuk membantu menjalankan beberapa fasilitas dan mesin dan pelayanan bagi industri-industri baru. Pecinan muncul pada masa ini.
Pada masa awal abad ini, Pax Neerlandica di proklamasikan, menghasilkan perubahan dari pemerintahan militer menjadi sipil. Dengan ini muncul polis tentang desentralisasi untuk meringankan beban administrasi dari pemerintahan pusat. Dan demikianlah Bandung menjadi kotamadya pada tahun 1906.
Perubahan ini memberikan dampak besar pada kota. Balai kota dibangun di ujung utara Braga untuk mengakomodasi pemerintahan yang baru, terpisah dari sistem masyarakat yang asli. Ini kemudian di ikuti oleh pengembangan yang jauh lebih besar saat markas besar militer dipindahkan dari Batavia ke Bandung sekitar tahun 1920. Tempat yang dipilih adalah di bagian timur Balai Kota, dan yang didalamnya terdapat tempat tinggal bagi Panglima perang, kantor, barak, dan gudang persenjataan.
Pada awal abad ke-20 kebutuhan untuk mempunyai seorang profesional yang memiliki kemampuan khusus menggerakan pendirian sekolah tinggi teknik yang disponsori oleh warga kota Bandung. Pada saat yang sama rencana untuk memindahkan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung sudah matang, kota ini di perluas ke utara. Distrik ibukota ditempatkan di bagian timur laut, daerah yang tadinya adalah persawahan, dan sebuah jalan raya direncanakan untuk dibuat sepanjang 2.5 kilometer menghadap Gunung Tangkuban Perahu dengan Gedung Sate di ujung selatan, dan sebuah monumen kolosal disisi lainnya. Pada kedua sisi dari gedung yang megah ini akan terdapat permukiman bagi kantor-kantor milik permerintahan kolonial.
Sepanjang bantaran sungai Cikapundung diantara pemandangan alam terdapat Kampus Technische Hoogeschool, asrama dan bagian pengurus. Bangunan tua kampus ini dan pemandangannya mencerminkan arsiteknya yang genius Henri Maclain Pont. Di bagian barat daya disediakan untuk rumah sakit dan institute Pasteur, di lingkungan pabrik kina yang tua. Pembangunan ini direncanakan dengan sangat teliti mulai dari arsitekturnya dan perawatan secara detail. Tahun sebelumnya tidak lama sebelum pecahnya perang dunia ke 2 merupakan tahun keemasan bagi Bandung dan dikenang sebagai Bandung Tempoe Doeloe.
Tonggak-Era Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, Bandung menjadi ibukota provinsi Jawa Barat. Bandung merupakan tempat terjadinya konferensi Bandung pada tanggal 18 April – 24 April 1955 dengan tujuan untuk promosi ekonomi dan kerjasama budaya antara negara Afrika dan Asia, dan untuk melawan ancaman kolonialisme dan neokolonialisme oleh Amerika Serikat, Uni Soviet atau negara-negara imperialis lainnya.
Sumber : Wikipedia.org
Posted in: edukasi
Sejarah Tahu Sumedang
17.20
Komunitas BARSI
Bermula dari kreativitas yang dimiliki oleh istri Ongkino, yang memang semenjak awal sebagai orang yang pertama kali memiliki ide untuk memproduksi Tou Fu (dari bahasa Tionghoa yang berarti sama) yang lambat laun menjadi berubah nama menjadi "Tahu".
Tahun demi tahun, Ongkino beserta istri tercinta terus menggeluti usaha mereka hingga sekira tahun 1917 anak tunggal mereka Ong Bung Keng menyusul kedua orang tuanya ke tanah Sumedang.
Bung Keng kemudian melanjutkan usaha kedua orang tuanya yang sampai keduanya memilih kembali ke tanah kelahiran mereka di Hokkian, Tiongkok.
Melalui alih generasi Ong Bung Keng, anak tunggal Ongkino, terus melanjutkan usaha yang diwariskan dari kedua orang tuanya hingga akhir hayatnya di usia 92 tahun.
Di balik kemasyhuran tahu Sumedang ada pula kisah yang berbau mistik, seperti apa yang diceritakan cucu dari Ongkino, Suryadi.
Sekira tahun 1928, konon suatu hari tempat usaha sang kakek buyutnya, Ong Bung Keng, didatangi oleh Bupati Sumedang, Pangeran Soeria Atmadja yang kebetulan tengah melintas dengan menggunakan dokar dalam perjalanan menuju Situraja.
Kebetulan, sang Pangeran melihat seorang kakek sedang menggoreng sesuatu. Pangeran Soeria Atmadja langsung turun begitu melihat bentuk makanan yang amat unik serta baunya yang harum. Sang bupati, Pangeran Soeria Atmadja kemudian bertanya kepada sang kakek, "Maneh keur ngagoreng naon? (Kamu sedang menggoreng apa?)".
Sang kakek berusaha menjawab sebisanya dan menjelaskan bahwa makanan yang ia goreng berasal dari Tou Fu China. Karena penasaran, sang bupati langsung mencoba satu. Setelah mencicipi sesaat, bupati secara spontan berkata "Enak benar masakan ini! Coba kalau kamu jual, pasti laris!", dengan wajah puas.
Tak lama setelah kejadian ini, Tahu Sumedang digemari oleh penduduk Sumedang dan kemudian sampai ke seluruh Indonesia.
(sumber:wikipedia)
Tahun demi tahun, Ongkino beserta istri tercinta terus menggeluti usaha mereka hingga sekira tahun 1917 anak tunggal mereka Ong Bung Keng menyusul kedua orang tuanya ke tanah Sumedang.
Bung Keng kemudian melanjutkan usaha kedua orang tuanya yang sampai keduanya memilih kembali ke tanah kelahiran mereka di Hokkian, Tiongkok.
Melalui alih generasi Ong Bung Keng, anak tunggal Ongkino, terus melanjutkan usaha yang diwariskan dari kedua orang tuanya hingga akhir hayatnya di usia 92 tahun.
Di balik kemasyhuran tahu Sumedang ada pula kisah yang berbau mistik, seperti apa yang diceritakan cucu dari Ongkino, Suryadi.
Sekira tahun 1928, konon suatu hari tempat usaha sang kakek buyutnya, Ong Bung Keng, didatangi oleh Bupati Sumedang, Pangeran Soeria Atmadja yang kebetulan tengah melintas dengan menggunakan dokar dalam perjalanan menuju Situraja.
Kebetulan, sang Pangeran melihat seorang kakek sedang menggoreng sesuatu. Pangeran Soeria Atmadja langsung turun begitu melihat bentuk makanan yang amat unik serta baunya yang harum. Sang bupati, Pangeran Soeria Atmadja kemudian bertanya kepada sang kakek, "Maneh keur ngagoreng naon? (Kamu sedang menggoreng apa?)".
Sang kakek berusaha menjawab sebisanya dan menjelaskan bahwa makanan yang ia goreng berasal dari Tou Fu China. Karena penasaran, sang bupati langsung mencoba satu. Setelah mencicipi sesaat, bupati secara spontan berkata "Enak benar masakan ini! Coba kalau kamu jual, pasti laris!", dengan wajah puas.
Tak lama setelah kejadian ini, Tahu Sumedang digemari oleh penduduk Sumedang dan kemudian sampai ke seluruh Indonesia.
(sumber:wikipedia)
Posted in: edukasi
Guru: Duta Bahasa Sunda (Daerah)
12.58
Komunitas BARSI
Menurut Ajip Rosidi, Pengamat kebudayaan Sunda bahwa bahasa akan musnah. Menurutnya bahasa adalah sesuatu yang hidup. Dan segala yang hidup akan (bisa) mati. Pandangan Ajip Rosidi bukan tidak berdasar, ia merujuk pada hasil penelitian 2 orang sarjana bahasa dari Amerika.
Menurut penelitian para sarjana bahasa tersebut seperti dikatakan oleh Kang Ajip dalam situsnya selama dua abad yang akhir ini kemusnahan bahasa kian menghebat. Menurut perkiraan mereka sekarang di dunia ini ada 5.000 – 6.700 bahasa, dan paling tidak – mungkin lebih – setengahnya akan mati dalam abad ke-21. Sekarang kl. 60% dari bahasa yang masih ada dalam kondisi penuh risiko. Menurut para sarjana, bahasa mati tidaklah secara alami. Bahasa tersebut dibunuh oleh bahasa lain seperti diberlakukannya bahasa Inggris sehingga bahasa setempat menjadi hilang.
Jika penelitian ini benar maka hal yang akan sama terjadi juga terhadap bahasa Sunda, dalam beberapa puluh tahun ke depan bisa jadi generasi muda Sunda khususnya Jawa Barat tidak akan mengenal lagi bahasa Ibunya. Hal ini berdasarkan pencermatan sementara penulis. Tidak sedikit orang tua mengajak bicara anaknya yang baru beranjak gede; masuk usia sekolah (TK/SD) dengan menggunakan bahasa Indonesia. Salah satu alasan mereka karena takut anaknya berbicara kasar jika menggunakan bahasa sunda. Fenomena ini dulu terjadi di kota besar seperti Bandung baik di wilayah komplek ataupun pemukiman penduduk desa. Namun fenomena ini sekarang merembes ke daerah-daerah seperti Garut, Sumedang, Tasik, Ciamis dan lain sebagainya. Saya seringkali menyaksikan orang tua di daerah tersebut mengajak bicara anaknya dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Anak-anak yang belum memiliki kesadaran penuh dalam persfektif psikologi komunikasi akan cenderung mengikuti bahasa yang dipergunakan oleh teman-temannya termasuk keluarga, mereka akan terpengaruh oleh ajakan teman/ keluarganya sebagai kelompok rujukannya dalam berbahasa. Sehingga sangat masuk akal pernyataan Kang Ajip bahwa Bahasa akan musnah kemudian.
Penggunaan bahasa Indonesia dinilai efektif terhadap anak agar anak tidak berbicara dengan bahasa yang kasar, di samping itu alasan yang cukup masuk akal adalah adanya undak-unduk basa yang menyebabkan sulitnya belajar bahasa Sunda dan Daerah lainnya. Namun tentu saja factor gengsi dan menganggap bahwa bahasa daerah kampungan juga bisa menjadi salah satu factor. Bahkan menurut hasil pencermatan seorang teman, di daerah lampung dan Palembang orang—baik remaja atau dewasa lebih bangga ketika mereka menggunakan bahasa Indonesia (Betawi) sehingga remaja-remaja di sana bisa dikatakan sangat asing terhadap bahasa daerahnya.
Belakangan, munculnya berbagai wacana tentang matinya budaya Sunda telah menyadarkan berbagai fihak akan pentingnya Budaya Sunda, sehingga tidak sedikit berbagai kalangan mengkampanyekan kembali pentingnya Budaya Sunda termasuk di dalamnya Bahasa Sunda terlebih setelah munculnya teknologi Internet, mulai dari majalah Online, Jejaring Sosial, Komunitas Sunda di Internet (Kusnet), LSM bahkan sampai musik Undergroundpun ikut ngarojong pelestarian berbahasa Sunda tersebut melalui kreatifitas bermusiknya. NGO yang berbasis budaya Sunda pun menggalakan penghargaan bagi tokoh-tokoh yang mencoba menghidupkan kembali atau melestarikan budaya Sunda.
Bahasa merupakan komponen utama dalam mengkomunikasikan budaya Sunda. Bahasa memegang peran yang sangat penting untuk melestarikan budaya. Menurut ahli linguistic bahasa diperoleh bukan karena keturunan tetapi melalui proses belajar. Melalui proses belajar pula bahasa Indonesia dengan dialek Sunda bermunculan yang lambat laun mereka tidak akan mengenal lagi bahasa Sunda. Dalam proses belajar, seorang anak mendapatkan pelajaran bahasa pertama dari keluarga, kedua dari sekolah dan kemudian dari lingkungan pergaulan.
Dalam pandangan psikologi komunikasi keterikatan mereka dengan bahasa Indonesia dikarenakan oleh Konformitas yaitu kecenderungan untuk mengikuti kelompoknya seperti kelompok keluarga, sekolah dan pergaulan. Melalui kelompok-kelompok tersebut menurut ilmu komunikasi bahwa pesan penggunaan bahasa menjadi efektif terinternalisasi ke dalam diri mereka. Dengan demikian maka kelompok-kelompok tersebut pulalah yang akan mendorong kembali kelanggengan berbahasa Sunda di tengah-tengah kita.
Guru Jadikan Duta Bahasa Sunda
Guru memiliki kekuatan koersif untuk menyampaikan pesan agar siswanya berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia sehingga pesan akan lebih efektif. Seperti halnya di Ponpes Gontor dimana siswa-siswanya diwajibkan untuk menggunakan bahasa Inggris dan Arab dalam bahasa pergaulannya. Kewajiban ini memaksa mereka sehingga mereka pun lancara berbasa Inggris dan Arab. Begitupun di sekolah-sekolah sejak TK sampai SMA jika saja kekuatan koersif ini digunakan oleh guru maka akan efektif untuk meminimalisir musnahnya bahasa Sunda dari bumi parahyangan.
Mengapa Guru?
Secara structural Guru berada dalam satu institusi pendidikan, dan institusi pendidikan berada di bawah struktur Dinas Pendidikan. Dinas pendidikan di Jawa Barat misalnya memiliki kekuatan struktur untuk memberlakukan kewajibannya terhadap setiap sekolah agar menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulannya di sekolah mulai dari TK, SD, SMP dan SMA. Dengan pendampingan selama jenjang pendidikan tersebut akan pentingnya bahasa Sunda akan mendorong kebiasaan muridnya berbicara dengan bahasa yang diajarkan/ dibiasakan oleh gurunya. Di samping itu guru dipandang memiliki ethos untuk menyampaikan pesannya terhadap murid-muridnya. Dalam pandangan Kang Jalal, seorang ahli psikologi komunikasi, ethos setidaknya memiliki dua komponen yaitu komponen kredibilitas dan komponen keahlian. Seorang guru akan dipandang credible oleh muridnya ketika dia menyampaikan pesannya sehingga sangat mungkin bahwa siswa-siswanya akan cepat terpengaruh dan kedua Guru memiliki kekuatan Koersif untuk memaksa muridnya untuk berbahasa daerah/ Sunda. Sehingga dua komponen kekuatan dan kredibilitas ini dalam pandangan psikologi komunikasi akan cukup efektif menyampaikan pesan-pesan tentang pentingnya berbahasa Sunda di kalangan siswa oleh gurunya.
Dengan pendekatan ini di harapkan bahwa Bahasa Sunda bukan sesuatu yang asing atau sulit tetapi sesuatu hal yang biasa sehingga ketika masuk lingkungan pergaulan atau sekolah yang lebih tinggi pun bahasa Sunda menjadi inheren dengan diri masing-masing siswa di Jawa Barat. Dengan demikian maka dimungkinkan bahwa bahasa Sunda akan tetap langgeng. Begitu juga halnya dengan Bahasa daerah lain. Bisakah?
penulis :: Dudi Rustandi
Masjid Agung Bandung
12.48
Komunitas BARSI
Lebih dari 100 tahun yang lalu, bangunan istana umat Islam di pusat kota Kembang berdiri kokoh. Seperti halnya bayi yang baru lahir, dia tidak begitu saja bisa langsung berjalan apalagi berlari. Semua ada tahapan-tahapan tertentu yang harus dilalui. Begitu pula dengan mesjid yang terletak di pusat Kota Bandung ini. Tidak serta merta bisa kokoh dan nampak indah seperti sekarang.
Dalam riwayatnya, Mesjid Agung Bandung dulu awal dibangun hanya berbalutkan dinding-dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Begitu pula dengan aksesoris mesjid yang lain masih menggunakan bahan-bahan tradisional. Bahkan ada kolam cukup luas yang digunakan untuk berwudhu, sumber air ini pun bermanfaat untuk memadamkan si jago merah yang terjadi di sekitar Mesjid Agung Bandung pada waktu itu.
Sejarah lain mengatakan pembangunan pusat ibadah umat Islam terbesar di Kota Bandung ini “berduet” dengan pembangunan Pendopo Kabupaten Bandung di selatan pusat Kota Kembang ini. Selain itu mesjid ini adalah salah satu elemen pusat kota tradisional waktu negeri ini, di jajah oleh negeri kincir angin yaitu sebagai simbol religiusitas serta sebagai pusat keagamaan kota.
Masyarakat Priangan sangat memanfaatkan mesjid ini sebagai lahan untuk beribadah. Tidak terbatas melaksanakan shalat saja tapi juga aktivitas agama yang lain. Begitu pula yang dimanfaatkan oleh para pengelola mesjid, berusaha untuk bisa memakmurkan tempat ibadah ini dengan berbagai aktivitas seputar Islam. Contohnya adalah menggali potensi masyarakat terhadap Al-Quran dengan mengadakan pengajian, ataupun memperingati hari-hari besar umat Islam.
Mesjid Agung ini juga sering disebut Bale Nyungcung (Bale: tempat pertemuan masyarakat, nyungcung: lancip). Dikatakan seperti itu, karena bentuk atapnya yang lancip (nyungcung) seperti gunungan. Menurut catatan sejarah, mesjid yang bertempat di Alun-Alun Bandung ini berhadapan dengan Bale Bandong yang berfungsi sebagai tempat pertemuan tamu kehormatan Kabupaten Bandung.
Sama seperti halnya kantor lembaga biasa, mesjid ini pun memiliki struktural kepengurusan agar tata tertib dan kemakmuran mesjid lebih terjaga. Karena ketekunan para teknokrat masjid dalam melaksanakan amanahnya, syi’ar dan kemakmuran rumah Allah ini senantiasa terpancar ke setiap penjuru kota kembang.
Karena mengikuti arus zaman, pusat ibadah ini pun mengalami metamorfosis dalam perwajahannya. Mulai dari bongkar pasang bangunan mesjid sampai perombakan di sekitarnya agar lebih luas. Beberapa ornamen masjid dibuat lebih menarik dengan gaya khas Priangan.
Meskipun demikian, bangunan mesjid tidak luput dari wajah tradisional Sunda dari bentuk mesjid sampai aksesoris yang terpajang pun menyampaikan bahwa seni Sunda tidak akan pernah hilang meskipun tergiring ombak perubahan zaman menjadi lebih modern. Di tahun-tahun berikutnya, Mesjid Agung dilengkapi dengan serambi depan dan sepasang menara yang tidak begitu tinggi dengan tutup menara dibuat tumpang susun di kiri-kanan bangunan.
Mesjid yang juga dijuluki “Kaum Bandung” ini terus mengalami pembedahan bangunan. Perubahan drastis tampak pada atap mesjid, atap mesjid tumpang susun yang dipakai dari awal mesjid ini terbentuk, kini diubah menjadi kubah model bawang bergaya Timur Tengah. Lalu dibangun menara tunggal yang berdiri tegak di halaman depan mesjid. Masa demi masa telah dilalui, seiring bergulirnya perubahan perkembangan kota yang terkenal dengan oncomnya ini, kini Masjid Agung pun menjadi pusat pendidikan Islam serta pusat kesehatan masyarakat.
Kemakmuran mesjid yang pernah menjadi tempat pertemuan besar seperti Konferensi Asia Afrika ini semakin nampak jelas. Kumandang takbir yang berkoar-koar memanggil umat Islam sekitar sana untuk segera menunaikan ibadah shalat terdengar sangat lantang. Gemuruh orang-orang yang menuntut ilmu dari anak-anak sampai kakek-nenek berkumpul disana. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat sekitar pun tak terelakan. Kini Masjid Agung memiliki multi fungsi, bukan hanya sebagai sarana ibadah saja.
Gema tausiyah yang disampaikan oleh para da’i bukan hanya dapat didengar oleh para jama’ah yang hadir di tempat, tetapi juga dengan mengudara melalui media elektronik seperti radio. Sehingga masyarakat juga dapat mendengarkan ceramah melalui radio.
Setelah adanya pelantikan pemimpin baru Jawa barat pada waktu itu, Mesjid Agung dibedah total. Beberapa tubuh mesjid yang sudah tidak digunakan diwakafkan kepada mesjid-mesjid yang ada di Kota Peuyeum (tape singkong) ini. Tanpa tinggal diam, Gubernur Jawa Barat yang baru itu langsung mengerahkan pasukan untuk merombak kembali Mesjid Agung. Untuk tahap pertama yaitu, pembuatan bangunan yang menjulang tinggi serta dibuatnya jalan penghubung antara Mesjid Agung dengan pusat kota. Pembangunan itu memakan biaya puluhan juta rupiah.
Perombakan itu membuat wajah mesjid semakin modern. Lantai mesjid kini sudah bertingkat, semua bahan pembuatan bangunan yang terbuat dari bata dan beton, ornamen menara yang dilapisi logam, atap kubah model bawang yang diganti dengan model joglo. Namun, atap tradisional mesjid diganti dengan kubah, sehingga kesan bangunan mesjid akan lebih mudah dikenali.
Perubahan ini semakin memberikan kesan modern yang kini telah menguasai arus zaman hingga mesjid pun tak luput dari korban modernitas. Meskipun demikian, bangunan baru ini dapat menampung ribuan orang, selain itu terdapat ruangan khusus untuk meminjam ataupun membaca buku bagi para pengunjung mesjid.
Perlu diketahui pula, bahwa Presiden pertama RI pun pernah berkontribusi dalam perombakan Mesjid Agung Bandung. Namun beberapa tahun setelah kemerdekaan RI, perwajahan Mesjid Agung sungguh sangat memprihatinkan. Dinding mesjid saat itu di penuhi ornamen batu granit serta pintu gerbang yang dikerangkeng besi.
Perubahan itu membuat tempat ibadah terisolasi. Di tambah dengan hiruk pikuk pertokoan yang dari tahun ke tahun semakin menghimpit mesjid bersejarah ini. Beberapa puluh tahun kemudian, di tangan seorang arsitek, mesjid ini mengalami kembali perubahan yang cukup signfikan. Yaitu dengan diperluasnya beberapa pijakan kaki mesjid serta me-reshuffle beberapa bangunan.
Hingga akhirnya renovasi besar-besaran ini mengundang perhatian tokoh besar Jawa Barat. Maka beliau mengadakan pertemuan dengan beberapa pasukan yang turut andil dalam pembangunan mesjid untuk merubah nama Mesjid Agung menjadi “Mesjid Raya Bandung Jawa Barat”. Proyek renovasi ini memberikan nuansa baru dengan dibangunnya dua menara kembar dengan ukuran ketinggian yang melambangkan asma Allah SWT. Bangunan yang mejulang tinggi ini juga dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, telekomunikasi dan obyek wisata.
Dalam riwayatnya, Mesjid Agung Bandung dulu awal dibangun hanya berbalutkan dinding-dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Begitu pula dengan aksesoris mesjid yang lain masih menggunakan bahan-bahan tradisional. Bahkan ada kolam cukup luas yang digunakan untuk berwudhu, sumber air ini pun bermanfaat untuk memadamkan si jago merah yang terjadi di sekitar Mesjid Agung Bandung pada waktu itu.
Sejarah lain mengatakan pembangunan pusat ibadah umat Islam terbesar di Kota Bandung ini “berduet” dengan pembangunan Pendopo Kabupaten Bandung di selatan pusat Kota Kembang ini. Selain itu mesjid ini adalah salah satu elemen pusat kota tradisional waktu negeri ini, di jajah oleh negeri kincir angin yaitu sebagai simbol religiusitas serta sebagai pusat keagamaan kota.
Masyarakat Priangan sangat memanfaatkan mesjid ini sebagai lahan untuk beribadah. Tidak terbatas melaksanakan shalat saja tapi juga aktivitas agama yang lain. Begitu pula yang dimanfaatkan oleh para pengelola mesjid, berusaha untuk bisa memakmurkan tempat ibadah ini dengan berbagai aktivitas seputar Islam. Contohnya adalah menggali potensi masyarakat terhadap Al-Quran dengan mengadakan pengajian, ataupun memperingati hari-hari besar umat Islam.
Mesjid Agung ini juga sering disebut Bale Nyungcung (Bale: tempat pertemuan masyarakat, nyungcung: lancip). Dikatakan seperti itu, karena bentuk atapnya yang lancip (nyungcung) seperti gunungan. Menurut catatan sejarah, mesjid yang bertempat di Alun-Alun Bandung ini berhadapan dengan Bale Bandong yang berfungsi sebagai tempat pertemuan tamu kehormatan Kabupaten Bandung.
Sama seperti halnya kantor lembaga biasa, mesjid ini pun memiliki struktural kepengurusan agar tata tertib dan kemakmuran mesjid lebih terjaga. Karena ketekunan para teknokrat masjid dalam melaksanakan amanahnya, syi’ar dan kemakmuran rumah Allah ini senantiasa terpancar ke setiap penjuru kota kembang.
Karena mengikuti arus zaman, pusat ibadah ini pun mengalami metamorfosis dalam perwajahannya. Mulai dari bongkar pasang bangunan mesjid sampai perombakan di sekitarnya agar lebih luas. Beberapa ornamen masjid dibuat lebih menarik dengan gaya khas Priangan.
Meskipun demikian, bangunan mesjid tidak luput dari wajah tradisional Sunda dari bentuk mesjid sampai aksesoris yang terpajang pun menyampaikan bahwa seni Sunda tidak akan pernah hilang meskipun tergiring ombak perubahan zaman menjadi lebih modern. Di tahun-tahun berikutnya, Mesjid Agung dilengkapi dengan serambi depan dan sepasang menara yang tidak begitu tinggi dengan tutup menara dibuat tumpang susun di kiri-kanan bangunan.
Mesjid yang juga dijuluki “Kaum Bandung” ini terus mengalami pembedahan bangunan. Perubahan drastis tampak pada atap mesjid, atap mesjid tumpang susun yang dipakai dari awal mesjid ini terbentuk, kini diubah menjadi kubah model bawang bergaya Timur Tengah. Lalu dibangun menara tunggal yang berdiri tegak di halaman depan mesjid. Masa demi masa telah dilalui, seiring bergulirnya perubahan perkembangan kota yang terkenal dengan oncomnya ini, kini Masjid Agung pun menjadi pusat pendidikan Islam serta pusat kesehatan masyarakat.
Kemakmuran mesjid yang pernah menjadi tempat pertemuan besar seperti Konferensi Asia Afrika ini semakin nampak jelas. Kumandang takbir yang berkoar-koar memanggil umat Islam sekitar sana untuk segera menunaikan ibadah shalat terdengar sangat lantang. Gemuruh orang-orang yang menuntut ilmu dari anak-anak sampai kakek-nenek berkumpul disana. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat sekitar pun tak terelakan. Kini Masjid Agung memiliki multi fungsi, bukan hanya sebagai sarana ibadah saja.
Gema tausiyah yang disampaikan oleh para da’i bukan hanya dapat didengar oleh para jama’ah yang hadir di tempat, tetapi juga dengan mengudara melalui media elektronik seperti radio. Sehingga masyarakat juga dapat mendengarkan ceramah melalui radio.
Setelah adanya pelantikan pemimpin baru Jawa barat pada waktu itu, Mesjid Agung dibedah total. Beberapa tubuh mesjid yang sudah tidak digunakan diwakafkan kepada mesjid-mesjid yang ada di Kota Peuyeum (tape singkong) ini. Tanpa tinggal diam, Gubernur Jawa Barat yang baru itu langsung mengerahkan pasukan untuk merombak kembali Mesjid Agung. Untuk tahap pertama yaitu, pembuatan bangunan yang menjulang tinggi serta dibuatnya jalan penghubung antara Mesjid Agung dengan pusat kota. Pembangunan itu memakan biaya puluhan juta rupiah.
Perombakan itu membuat wajah mesjid semakin modern. Lantai mesjid kini sudah bertingkat, semua bahan pembuatan bangunan yang terbuat dari bata dan beton, ornamen menara yang dilapisi logam, atap kubah model bawang yang diganti dengan model joglo. Namun, atap tradisional mesjid diganti dengan kubah, sehingga kesan bangunan mesjid akan lebih mudah dikenali.
Perubahan ini semakin memberikan kesan modern yang kini telah menguasai arus zaman hingga mesjid pun tak luput dari korban modernitas. Meskipun demikian, bangunan baru ini dapat menampung ribuan orang, selain itu terdapat ruangan khusus untuk meminjam ataupun membaca buku bagi para pengunjung mesjid.
Perlu diketahui pula, bahwa Presiden pertama RI pun pernah berkontribusi dalam perombakan Mesjid Agung Bandung. Namun beberapa tahun setelah kemerdekaan RI, perwajahan Mesjid Agung sungguh sangat memprihatinkan. Dinding mesjid saat itu di penuhi ornamen batu granit serta pintu gerbang yang dikerangkeng besi.
Perubahan itu membuat tempat ibadah terisolasi. Di tambah dengan hiruk pikuk pertokoan yang dari tahun ke tahun semakin menghimpit mesjid bersejarah ini. Beberapa puluh tahun kemudian, di tangan seorang arsitek, mesjid ini mengalami kembali perubahan yang cukup signfikan. Yaitu dengan diperluasnya beberapa pijakan kaki mesjid serta me-reshuffle beberapa bangunan.
Hingga akhirnya renovasi besar-besaran ini mengundang perhatian tokoh besar Jawa Barat. Maka beliau mengadakan pertemuan dengan beberapa pasukan yang turut andil dalam pembangunan mesjid untuk merubah nama Mesjid Agung menjadi “Mesjid Raya Bandung Jawa Barat”. Proyek renovasi ini memberikan nuansa baru dengan dibangunnya dua menara kembar dengan ukuran ketinggian yang melambangkan asma Allah SWT. Bangunan yang mejulang tinggi ini juga dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, telekomunikasi dan obyek wisata.
Posted in: edukasi
Khutbah ku Basa Sunda
12.37
Komunitas BARSI
Baheula mah khutbah téh kudu dina basa Arab baé, padahal jama´ahna henteu ngalartieun basa Arab. Béh dieu khutbah ku basa Arab geus beuki langka, sabab mémang henteu aya larangan khutbah ku basa nu lain basa Arab. Di Tatar Sunda (kaasup Banten) mimiti khotib khutbah dina basa Sunda atawa Indonésia. Tapi ka dieunakeun, khutbah dina basa Indonésia beuki populér, sabalikna nu khutbah dina basa Sunda beuki ngurangan.
Di masjid-masjid di Bandung, geus langka anu khutbahna ku basa Sunda. Alesanana "henteu kabéh jamaah bisaeun basa Sunda, da réa nu lain urang Sunda". Tapi anu khutbah ku basa Indonésia, sanajan jama´ahna kabéhanana urang Sunda anu tanwandé ngalartieun basa Sunda, lain ngan di kota gedé cara Bandung baé. Dalah di masjid kacamatan cara Cilimus (Kuningan), khutbahna (jeung katerangan anu ditepikeun ku ahli masjid saméméh khutbah) ditepikeunana ku basa Indonésia. Naha sikep kitu téh ku lantaran hayang ngabuktikeun rasa kabangsaan? Wallahu´alam, tapi rasa kabangsaan mah henteu kudu ditepikeun ku basa Indonésia. Suratkabar Sipatahoenan anu dina basa Sunda dina mangsa samémeh perang digolongkeunana kana surat kabar nasional, sabab eusina némbongkeun sikep kabangsaan. Hal éta némbongkeun yén rasa kabangsaan gé bisa ditepikeun ku basa Sunda - atawa basa dérah lianna. Pikeun jadi Indonésia, urang Sunda henteu kudu eureun jadi Sunda.
Naha ku lantaran ngagéhan ka nu kabeneran aya jalma anu henteu bisaeun basa Sunda jadi jama´ah di dinya? Sikep ngagéhan malah ngahormat ka sémah téh cenah salah sahiji sipat urang Sunda anu cenah némbongkeun kaluhungan budina. Tapi naha enya nyarita (dina hal ieu khutbah) ku lain basa Sunda duméh aya jamaah nu lain urang Sunda téh némbongkeun kaluhungan budi? Naha ciri kaluhungan budi téh leuwih mentingkeun sémah, manan pribumi anu jumlahna leuwih réa? Wallahu´alam. Tapi sikep kitu ogé bisa jadi gambaran tina jiwa katut sikep anu henteu istikomah, henteu yakin kana diri sorangan, ku sabab geus biasa ngawula kana kapentingan batur.
Kungsi milu Juma´ahan di masjid Turki deukeut Amsterdam, nagara Walanda. Éta masjid disebut kitu sabab diadegkeun ku komunitas urang Turki anu hirup di Walanda. Jama´ahna réréana urang Turki, sanajan réa muslim bangsa séjén, kaasup Walanda gé nu sok saralat di dinya. Saméméh salat Juma´ah, aya pangajian anu ditepikeun dina basa Turki. Dina waktu salat, khutbah ditepikeun dina basa Turki. Lain henteu tarerangeun yén aya bangsa séjén anu milu salat di dinya anu henteu bisaeun basa Turki, tapi maranéhanana mentingkeun ngawedelan kaimanan bangsana nu tanwandé leuwih merenah ditepikeun ku basa Turki, sanajan maranéhanana hirup di pangumbaraan.
Sabalikna waktu Juma´ahan di masjid Indonésia di Den Haag, khutbah ditepikeun dina basa Walanda anu titatarajong ku khotib urang Indonésia. Padahal di masjid éta téh jamaahna réréana urang Indonésia sanajan mémang aya bangsa séjén ogé, di antarana aya duaan atawa tiluan urang Walanda nu bisa jadi moal ngartieun kana basa Walanda anu digunakeun ku khotib.
Nu kasaksian di masjid Indonésia di Den Haag sarua jeung nu ayeuna biasa kasaksian di masjid-masjid di Tatar Sunda jeung Banten. Khotib anu khutbah dina basa Indonésia di Tatar Sunda gé réa anu basa Indonésiana titatarajong. Naha atuh maksakeun teuing khutbah dina basa Indonésia? Naha lain dina basa Sunda baé? Boa-boa geus hésé néangan khotib anu lancar lamun kudu khutbah dina basa Sunda téh.
Agama mah lain ngan urusan uteuk (akal) baé, tapi jeung rasa deuih. Numatak leuwih merenah ditepikeun ku basa indung. Béda nyantélna ka nu ngadéngékeun lamun ditepikeun ku basa indung mah. Yén basa indung penting, kabuktian ku dihormatna ku UNESCO nu ngayakeun "Poé Basa Indung" dina bulan Fébruari.
Yén basa indung baris leuwih nyerep kana sanubari nu ngabandunganana, kahalartieun ku para pandéta Kristen jeung Katolik, anu di garéja-garéjana béh dieu beuki réa diulik jeung diajarkeun basa indung. Dina misa gé basa Sunda geus réa dipaké. Lalaguan Sunda digunakeun dina acara-acara kaagamaan. Réa garéja anu ngayakeun kagiatan basa jeung kasenian daérah.
Nu matak sikep para ulama jeung khotib-khotib di masjid di urang nu nganggap leuwih hadé henteu ngagunakeun basa Sunda dina khutbah Juma´ah, mutuh matak hélok. Padahal apan urang Sunda mah réréana ngagem agama Islam, hartina di imah gé dina urusan agama ngagunakeun basa Sunda, basa indungna. Jadi kana baris leuwih nyerepna lamun ngabandungan khutbah di masjid dina basa indungna. Ku henteu digunakeunana basa indung, nyaéta basa Sunda, dina khutbah di masjid-masjid atawa tablég di majlis-majlis pangajian, sacara henteu langsung milu maéhan basa Sunda. Nyaéta ku sabab henteu méré kasempetan kana basa Sunda sangkan hirup tur tumuwuh dina widang anu paling subtil, nyaéta widang agama, widang kayakinan. Bisa jadi konsékwénsi tina henteu ngagunakeun basa Sunda dina khutbah jeung tablég ayeuna baris maéhan basa Sunda téh henteu nepi ka kapikireun ku para pangurus masjid jeung para khotib, da tara mikir jangka panjang. Bisa jadi karagéteunana engké lamun hal éta geus kajadian. Nu matak ironis, engké mah garéja-garéja anu malah ngagunakeun basa Sunda dina kagiatanana téh.
Di masjid-masjid di Bandung, geus langka anu khutbahna ku basa Sunda. Alesanana "henteu kabéh jamaah bisaeun basa Sunda, da réa nu lain urang Sunda". Tapi anu khutbah ku basa Indonésia, sanajan jama´ahna kabéhanana urang Sunda anu tanwandé ngalartieun basa Sunda, lain ngan di kota gedé cara Bandung baé. Dalah di masjid kacamatan cara Cilimus (Kuningan), khutbahna (jeung katerangan anu ditepikeun ku ahli masjid saméméh khutbah) ditepikeunana ku basa Indonésia. Naha sikep kitu téh ku lantaran hayang ngabuktikeun rasa kabangsaan? Wallahu´alam, tapi rasa kabangsaan mah henteu kudu ditepikeun ku basa Indonésia. Suratkabar Sipatahoenan anu dina basa Sunda dina mangsa samémeh perang digolongkeunana kana surat kabar nasional, sabab eusina némbongkeun sikep kabangsaan. Hal éta némbongkeun yén rasa kabangsaan gé bisa ditepikeun ku basa Sunda - atawa basa dérah lianna. Pikeun jadi Indonésia, urang Sunda henteu kudu eureun jadi Sunda.
Naha ku lantaran ngagéhan ka nu kabeneran aya jalma anu henteu bisaeun basa Sunda jadi jama´ah di dinya? Sikep ngagéhan malah ngahormat ka sémah téh cenah salah sahiji sipat urang Sunda anu cenah némbongkeun kaluhungan budina. Tapi naha enya nyarita (dina hal ieu khutbah) ku lain basa Sunda duméh aya jamaah nu lain urang Sunda téh némbongkeun kaluhungan budi? Naha ciri kaluhungan budi téh leuwih mentingkeun sémah, manan pribumi anu jumlahna leuwih réa? Wallahu´alam. Tapi sikep kitu ogé bisa jadi gambaran tina jiwa katut sikep anu henteu istikomah, henteu yakin kana diri sorangan, ku sabab geus biasa ngawula kana kapentingan batur.
Kungsi milu Juma´ahan di masjid Turki deukeut Amsterdam, nagara Walanda. Éta masjid disebut kitu sabab diadegkeun ku komunitas urang Turki anu hirup di Walanda. Jama´ahna réréana urang Turki, sanajan réa muslim bangsa séjén, kaasup Walanda gé nu sok saralat di dinya. Saméméh salat Juma´ah, aya pangajian anu ditepikeun dina basa Turki. Dina waktu salat, khutbah ditepikeun dina basa Turki. Lain henteu tarerangeun yén aya bangsa séjén anu milu salat di dinya anu henteu bisaeun basa Turki, tapi maranéhanana mentingkeun ngawedelan kaimanan bangsana nu tanwandé leuwih merenah ditepikeun ku basa Turki, sanajan maranéhanana hirup di pangumbaraan.
Sabalikna waktu Juma´ahan di masjid Indonésia di Den Haag, khutbah ditepikeun dina basa Walanda anu titatarajong ku khotib urang Indonésia. Padahal di masjid éta téh jamaahna réréana urang Indonésia sanajan mémang aya bangsa séjén ogé, di antarana aya duaan atawa tiluan urang Walanda nu bisa jadi moal ngartieun kana basa Walanda anu digunakeun ku khotib.
Nu kasaksian di masjid Indonésia di Den Haag sarua jeung nu ayeuna biasa kasaksian di masjid-masjid di Tatar Sunda jeung Banten. Khotib anu khutbah dina basa Indonésia di Tatar Sunda gé réa anu basa Indonésiana titatarajong. Naha atuh maksakeun teuing khutbah dina basa Indonésia? Naha lain dina basa Sunda baé? Boa-boa geus hésé néangan khotib anu lancar lamun kudu khutbah dina basa Sunda téh.
Agama mah lain ngan urusan uteuk (akal) baé, tapi jeung rasa deuih. Numatak leuwih merenah ditepikeun ku basa indung. Béda nyantélna ka nu ngadéngékeun lamun ditepikeun ku basa indung mah. Yén basa indung penting, kabuktian ku dihormatna ku UNESCO nu ngayakeun "Poé Basa Indung" dina bulan Fébruari.
Yén basa indung baris leuwih nyerep kana sanubari nu ngabandunganana, kahalartieun ku para pandéta Kristen jeung Katolik, anu di garéja-garéjana béh dieu beuki réa diulik jeung diajarkeun basa indung. Dina misa gé basa Sunda geus réa dipaké. Lalaguan Sunda digunakeun dina acara-acara kaagamaan. Réa garéja anu ngayakeun kagiatan basa jeung kasenian daérah.
Nu matak sikep para ulama jeung khotib-khotib di masjid di urang nu nganggap leuwih hadé henteu ngagunakeun basa Sunda dina khutbah Juma´ah, mutuh matak hélok. Padahal apan urang Sunda mah réréana ngagem agama Islam, hartina di imah gé dina urusan agama ngagunakeun basa Sunda, basa indungna. Jadi kana baris leuwih nyerepna lamun ngabandungan khutbah di masjid dina basa indungna. Ku henteu digunakeunana basa indung, nyaéta basa Sunda, dina khutbah di masjid-masjid atawa tablég di majlis-majlis pangajian, sacara henteu langsung milu maéhan basa Sunda. Nyaéta ku sabab henteu méré kasempetan kana basa Sunda sangkan hirup tur tumuwuh dina widang anu paling subtil, nyaéta widang agama, widang kayakinan. Bisa jadi konsékwénsi tina henteu ngagunakeun basa Sunda dina khutbah jeung tablég ayeuna baris maéhan basa Sunda téh henteu nepi ka kapikireun ku para pangurus masjid jeung para khotib, da tara mikir jangka panjang. Bisa jadi karagéteunana engké lamun hal éta geus kajadian. Nu matak ironis, engké mah garéja-garéja anu malah ngagunakeun basa Sunda dina kagiatanana téh.
Posted in: edukasi,kebudayaan
Sunda sebagai nama tempat
12.24
Komunitas BARSI
Istilah Sunda sebagai nama tempat, pertama kali disebut oleh ahli ilmu bumi dari Yunani, Ptolemaeus dalam bukunya tahun 150 Masehi, kata Prof Dr drs Edi Suhardi Ekadjati, dalam pidato pengukuhan dirinya selaku Guru Besar Ilmu Sejarah di Universitas Padjadjaran, Bandung, Tahun 1995. (Prof Edi Suhardi Ekadjati dilahirkan di Kuningan, Jawa Barat, 25 Maret 1945. Ia, suami Hj Utin Nur Husna dan dikaruniai empat anak. Edi adalah Sarjana Sastra Unpad (1971), kemudian melanjutkan studi di Program Filologi untuk Sejarah, Rikjsuniver siteit, Leiden (1975), lalu meraih Doktor di Universitas Indonesia (1979). Prof. Edi telah Meninggal pada 1 Juni 2006 akibat serangan stroke kedua yang diawali oleh serangan jantung)
Mengutip buku Atmamihardja (1958: 8), Ptolemaeus menyebutkan, ada tiga buah pulau yang dinamai Sunda yang terletak di sebelah timur India.
Berdasarkan informasi itu kemudian ahli-ahli ilmu bumi Eropa menggunakan kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pulau di timur India, kata Edi yang kini Kepala Museum Konferensi Asia Afika dan dosen di Unpad serta Unpar Bandung.
Dari penelurusan kepustakaan,kata Sunda seperti dikatakan Rouffaer (1905: 16), merupakan pinjaman kata dari kebudayaan Hindu seperti juga kata-kata Sumatera, Madura, Bali, Sumbawa yang semuanya menunjukkan nama tempat.
Kata Sunda sendiri, kemungkinan berasal dari akar kata “sund” atau kata “suddha” dalam bahasa Sanskerta yang mengandung makna: bersinar, terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa 1949: 289) Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata “Sunda” dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak bercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Mardiwarsito, 1990: 569-57, Anandakusuma, 1986: 185-186; Winter, 1928: 219).
Ahli geologi Belanda RW van Bemmelen, mengatakan, Sunda adalah suatu istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut India Timur, sedangkan dataran bagian tenggaranya dinamai Sahul, ujar Edi. Dataran Sunda dikelilingi sistem Gunung Sunda yang melingkar (circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7000 km.
Dataran Sunda terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian utara, meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik bagian barat, serta bagian selatan yang terbentang dari barat sampai ke timur mulai Lembah Brahm aputera di Assam (India) hingga Maluku bagian selatan. Dataran Sunda itu bersambung dengan kawasan sistem Gunung Himalaya di barat dan dataran Sahul di timur, kata Edi, mengedepankan pendapat van Bemmelen (1949: 2-3).
Selanjutnya, sejumlah pulau yang kemudian terbentuk di dataran Sunda diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda pula yakni Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil. Kepulauan Sunda Besar ialah himpunan pulau besar yang terdiri dari Sumatera,Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil merupakan gugusan pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor (Bemmelen,1949:15-16).
Mengutip Gonda (1973:345-346) pada mulanya kata “suddha” dalam bahasa Sansekerta diterapkan pada nama sebuah gunung yang menjulang tinggi di bagian barat Pulau Jawa yang dari jauh tampak putih karena tertutup abu asal gunung tersebut. Gunung Sunda itu terletak di bagian barat Gunung Tangkuban Parahu. Kemudian nama tersebut diterapkan pula pada wilayah gunung itu berada dan penduduknya. Mungkin sekali, pemberian nama Sunda bagi wilayah bagian barat Pulau Jawa itu diilhami oleh sebuah kota dan atau kerajaan di India yang terletak di pesisir barat India antara kota Goa dan Karwar (ENI, IV,1921:14-15).
Setelah keruntuhan Kerajaan Sunda, eksistensi dan peranan Sunda tidak lagi menonjol di daerahnya sendiri, apalagi di wilayah Nusantara, baik dalam hubungan geografis, sosial, politik maupun kebudayaan. Keadaan seperti itu berlangsung sekitar tiga aba d hingga awal abad ke-20 Masehi, karena pengaruh kekuasaan dari luar yaitu kekuasaan dan kebudayaan Islam, Jawa, Eropa (terutama Belanda).
Selain itu menurut beberapa pakar bahasa Sunda sampai sekitar abad ke-6 wilayah penuturannya sampai di sekitar Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah, berdasarkan nama “Dieng” yang dianggap sebagai nama Sunda (asal kata dihyang yang merupakan kata bahasa Sunda Kuna).
Nilai-nilai tradisi Sunda dapat dibagi dua. Pertama, nilai tradisi Sunda yang terkandung dalam explicit knowledge (pengetahuan yang tersurat), seperti peribahasa, dongeng, sisindiran, dan naskah-naskah kuno.
Kedua, nilai tradisi Sunda yang bersumber dari tacit knowledge (pengetahuan yang tersirat). Pengetahuan ini terdiri dari pola pikir, sikap, dan kearifan orang Sunda di dalam menghadapi dan mengatasi masalah kehidupannya.
Pewarisan budaya Sunda tentu harus mengutamakan keduanya. Sayangnya, hal tersebut tampak masih jauh dari harapan. Dari segi pengetahuan tersurat, akses informasi untuk mengetahui dan mempelajari khazanah kebudayaan Sunda masih kurang.
Mengutip buku Atmamihardja (1958: 8), Ptolemaeus menyebutkan, ada tiga buah pulau yang dinamai Sunda yang terletak di sebelah timur India.
Berdasarkan informasi itu kemudian ahli-ahli ilmu bumi Eropa menggunakan kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pulau di timur India, kata Edi yang kini Kepala Museum Konferensi Asia Afika dan dosen di Unpad serta Unpar Bandung.
Dari penelurusan kepustakaan,kata Sunda seperti dikatakan Rouffaer (1905: 16), merupakan pinjaman kata dari kebudayaan Hindu seperti juga kata-kata Sumatera, Madura, Bali, Sumbawa yang semuanya menunjukkan nama tempat.
Kata Sunda sendiri, kemungkinan berasal dari akar kata “sund” atau kata “suddha” dalam bahasa Sanskerta yang mengandung makna: bersinar, terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa 1949: 289) Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata “Sunda” dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak bercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Mardiwarsito, 1990: 569-57, Anandakusuma, 1986: 185-186; Winter, 1928: 219).
Ahli geologi Belanda RW van Bemmelen, mengatakan, Sunda adalah suatu istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut India Timur, sedangkan dataran bagian tenggaranya dinamai Sahul, ujar Edi. Dataran Sunda dikelilingi sistem Gunung Sunda yang melingkar (circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7000 km.
Dataran Sunda terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian utara, meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik bagian barat, serta bagian selatan yang terbentang dari barat sampai ke timur mulai Lembah Brahm aputera di Assam (India) hingga Maluku bagian selatan. Dataran Sunda itu bersambung dengan kawasan sistem Gunung Himalaya di barat dan dataran Sahul di timur, kata Edi, mengedepankan pendapat van Bemmelen (1949: 2-3).
Selanjutnya, sejumlah pulau yang kemudian terbentuk di dataran Sunda diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda pula yakni Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil. Kepulauan Sunda Besar ialah himpunan pulau besar yang terdiri dari Sumatera,Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil merupakan gugusan pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor (Bemmelen,1949:15-16).
Mengutip Gonda (1973:345-346) pada mulanya kata “suddha” dalam bahasa Sansekerta diterapkan pada nama sebuah gunung yang menjulang tinggi di bagian barat Pulau Jawa yang dari jauh tampak putih karena tertutup abu asal gunung tersebut. Gunung Sunda itu terletak di bagian barat Gunung Tangkuban Parahu. Kemudian nama tersebut diterapkan pula pada wilayah gunung itu berada dan penduduknya. Mungkin sekali, pemberian nama Sunda bagi wilayah bagian barat Pulau Jawa itu diilhami oleh sebuah kota dan atau kerajaan di India yang terletak di pesisir barat India antara kota Goa dan Karwar (ENI, IV,1921:14-15).
Sunda sebagai sebuah kerajaan
Selanjutnya, Sunda dijadikan nama kerajaan di bagian barat Pulau Jawa yang beribukota di Pakuan Pajajaran, sekitar kota Bogor sekarang. Kerajaan Sunda itu telah diketahui berdiri pada abad ke-7 Masehi dan berakhir pada tahun 1579 Masehi, katanya, mengutip Danasasmita dkk, III, 1984:1-27 dan Djajadiningrat, 1913:75.Setelah keruntuhan Kerajaan Sunda, eksistensi dan peranan Sunda tidak lagi menonjol di daerahnya sendiri, apalagi di wilayah Nusantara, baik dalam hubungan geografis, sosial, politik maupun kebudayaan. Keadaan seperti itu berlangsung sekitar tiga aba d hingga awal abad ke-20 Masehi, karena pengaruh kekuasaan dari luar yaitu kekuasaan dan kebudayaan Islam, Jawa, Eropa (terutama Belanda).
Sunda sebagai bahasa
Bahasa Sunda terutama dipertuturkan di sebelah barat pulau Jawa, di daerah yang dijuluki Tatar Sunda. Namun demikian, bahasa Sunda juga dipertuturkan di bagian barat Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Brebes dan Cilacap. Banyak nama-nama tempat di Cilacap yang masih merupakan nama Sunda dan bukan nama Jawa seperti Kecamatan Dayeuhluhur, Cimanggu, dan sebagainya. Ironisnya, nama Cilacap banyak yang menentang bahwa ini merupakan nama Sunda. Mereka berpendapat bahwa nama ini merupakan nama Jawa yang “disundakan”, sebab pada abad ke-19 nama ini seringkali ditulis sebagai “Clacap”.Selain itu menurut beberapa pakar bahasa Sunda sampai sekitar abad ke-6 wilayah penuturannya sampai di sekitar Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah, berdasarkan nama “Dieng” yang dianggap sebagai nama Sunda (asal kata dihyang yang merupakan kata bahasa Sunda Kuna).
Sunda Kiwari
Pareumeun obor. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi generasi muda Sunda kiwari. Generasi muda Sunda sekarang tampak gelagapan dan tertatih-tatih mengenal dan memahami tata nilai kesundaan.Nilai-nilai tradisi Sunda dapat dibagi dua. Pertama, nilai tradisi Sunda yang terkandung dalam explicit knowledge (pengetahuan yang tersurat), seperti peribahasa, dongeng, sisindiran, dan naskah-naskah kuno.
Kedua, nilai tradisi Sunda yang bersumber dari tacit knowledge (pengetahuan yang tersirat). Pengetahuan ini terdiri dari pola pikir, sikap, dan kearifan orang Sunda di dalam menghadapi dan mengatasi masalah kehidupannya.
Pewarisan budaya Sunda tentu harus mengutamakan keduanya. Sayangnya, hal tersebut tampak masih jauh dari harapan. Dari segi pengetahuan tersurat, akses informasi untuk mengetahui dan mempelajari khazanah kebudayaan Sunda masih kurang.
Pertanyaan Urang Sunda
Mengapa nama kepulauan Sunda Besar dan Sunda Kecil lenyap dari peta. Hanya Selat Sunda yang tersisa. Mengapa Rhinoceros sundaicos sering diterjemahkan menjadi Badak Jawa bukan Badak Sunda?(dari berbagai sumber)
Posted in: edukasi