Senin, 28 Februari 2011

Seni Bandung - Rumentang Siang Jadi Saksi



Sejarah  ::

Hujah yang turun-menerus pa-da malam2 terakhlr pagelaran ternyata bukanlah merupakan hambatan bagi penonton. Gedung Kesenian "Rumentang Slang" yang berkapasitas terbatas itu senantiasa penuh pengunjung. Bahkan meluap. Hal itu membuk-tikan betapa sungguh kita semua butuh akan hlburan bermutu.
Kesenian 2 yang ditampilkan dalam rangkaian pagelaran peres-mian "Rumentang Slang", secara umum tldaklah mengecewakan. Bahkan memuaskan. Selain varia-tlf, juga cukup dapat mewakill warna2 kesenlan yang hldup dl kawasan Jawa Barat. Selama tujuh malam pagelaran hampir setiap kegiatan kesenlan memperoleh porsinya. Dari mulai kegiatan kesenian anak-anak hlngga remaja dan dewasa, dari mulai group2 kesenian yang amatir, yang bersi-fat study hingga yang benar2 profesional. Leblh dari itu dapat lah dikatakan bahwa pagelaran2 yang diselenggarakan dalam rang­kaian Peresmian "Rumentang Siang" dapat memenuhi hampir setiap tingkat apresiasi-kesenian yang ada dalam masyarakat dari mulai yang ala kadarnya hingga yang tinggi.
Pagelaran peresmian Gedung Kesenian "Rumentang Siang" di mulai dengan pertunjukan Topeng Banjet dari Kabupaten Karawang pimpinan All Saban, pada tanggal 10 Januari, beberapa saat setelah gedung itu diresmikan oleh Gu-bernur Solihin. Dengan segala keasllannya, Banjet Karawang me nampllkan dlri. Lineah dan kocak disertai goyang pinggulnya yang speslfik. ] Beberapa i orang mung-kin beranggapan bahwa Topeng Banjet Karawang itu kasar, ba-rangkall dalam dialog. Tetapi itulah clri Karawang. Dengan pengarahan dan tetek-bengek ke-tentuan moral dari penyelenggara. Topeng Banjet dari Karawang justru akan merasa terikat dan akibatnya ia akan kehilangan clrinya yang khas.
Kecuall untuk beberapa hal yang berslfat teknls-kecll, penye­lenggara tidak terlampau banyak turut campur. Dan hal itu membe-rikan keleluasaan kepada rom-bongan ethnis dari Kabupaten Karawang untuk ' menampilkan dlri seutuhnya tanpa ikatan keten-tuan apapun. Ternyata dengan begitu memang bermutu dan menghibur.
"Perang Bubat" muncul pada malam kedua. Hal yang baru pada penampilan sandiwara itu ialah bergabungnya dua kelompok ke­senian yang hidup di Jawa Barat.
Kesenian Sunda di satu pihak dan kesenian Jawa pada fihak lain. Sandiwara "Perang Bubat" yang merupakan garapan bersama anta-ra perkumpulan sandiwara "Sri Mukti" dengan Ketoprak "Kota Kembang" dan Wayang Orang "Ngesti Utomo" tidaklah bertele-tele seperti kebiasaan pertuhjuk-an2 sandiwara pada tahun2 ter akhir. Kebutuhan akan tata-pang-gung yang "rongkah"-pun yang biasanya merupakah hal yang mutlak adany a dalam setiap page­laran sandiwara (rakyat) ternyata telah blsa mereka tinggalkan tan-Pa mengganggu pagelaran secara serius. Penyesuaian pentas dari '.. "kebiasaan pemanggungan mere­ka sehari-hari ke atas panggung sebuah gedung kesenian telah mereka lakukan dengan balk. Kesederhanaan yang demikian te­lah membantu berkembiingnya imajinasi para penonton secara lebih leluasa. '
Kelemahan yang nampak ada lah "terkalahkan"-nya rombongan Sandiwara Sunda oleh rombongan Sandiwara Jawa dalam kemampu an individuil para pemain. Peme;-ran2tokoh Majapahit secara kons-tan dapat memelihara sikap serta karakterisasinya disertai dialog2 yang tetap mantap. Perhitungan kostumpun memperlihatkan ke unggulan rombongan sandiwara Jawa. Perbedaan itu menyebab kan tidak sinkronnya perpaduan antara keduanya.
Keutuhan sebuah pagelaran tentu saja bukan hanya terletak pada keutuhan masing2 fihak yang antagonistis, apalagi yang satu lebih lemah dari yang lain, tetapi haruslah diciptakan secara kompak. Di sini faktor sutradara sangatlah menentukan. la tidak boleh "memihak". la harus mam-pu memadukan secara sinkron ke dua fihak yang1 antagonistis itu hingga melahirkan satu wangun pagelaran yang utuh dan padu secara keseluruhan.
Matam pagelaran ketiga di "Rumentang Slang" menampilkan kegiatan remaja. Group Teater Remaja Bandung menyuguhkan sebuah drama modern "Tersiar nya Khabar" karya Lady Gregory dan rombongan "Gang Arts Group" menghidangkan beberapa buah lagu rakyat.
Dalam "Tersiarnya Khabar" ide pokok sutradara (Adjat Sudra-djat) tidaklah mengecewakan. Sa-yang sekali ide itu tidak dikem-bangkan ke arah pemeliharaan dan peningkatan kemampuan individuil tiap pemain.
Sementara itu "Gang Arts Group" tidak memperlihatkan ke-lebihan apa2 kecuali kemiskinan penggarapan. Tetapi bagai-manapun pagelaran malam ketiga dalam rangkaian peresmian Ge­dung Kesenian "Rumentang Si­ang" itu memang mengandung hikmah. Setidak-tidaknya mem­ber! dorongan kepada kita untuk terus membantu pemeliharaandan pengembangan kegiatan kesenian di kalangan remaja, di samping berusaha menyuguhkan hiburan sehat dan bermutu kepada pen on­to^ di kalangan remaja itu sendiri.
Malam pertunjukkan paling pendek khabarnya berlangsung pada malam ke empat dengan suguhan variety-show anak-anak Sekolah Dasar dari Kotamadya Bogor <di bawah judul "Di Desa". Satu-satunya r Pertunjukan yang tidak sempat saya saksikan sendiri. Rombongan Kesenian anak2 SD Kotamadya Bogor itu adalah salah satu pemenang pada Pekan Keseni­an Sekolah Dasar (PKSD) Jawa Barat 19 74.
Esok malamnya, kemball rom­bongan sandiwara (rakyat) mem­peroleh perhatlan penyelenggara untuk disuguhkart Lingkurig Seni "Purwasetra" di bawah penga­rahan Moh, Baun Gazali tampil dengan ceritera "Pahlawan Geger
Malela". Pengalaman berpentas "Purwasetra" selama tahun2 ter­akhlr terutama dalam pertun-ukkan kelilingnya pada hampir di seluruh kota di Jawa Barat (me-ngemban missi Rakgantang dan Keluarga Berencana) membuatnya menjadi sebuah group sandiwara yang fleksibel dengan "keleblhan" teknis pentas terutama dalam memainkan tata-lampu. Bagi pe-nonton2 awam kelebihan teknis seperti itu tentu saja mentak-jubkan.
SETELAH jedah dua malam, pagelaran kesenian dalam rang­kaian acara peresmian Gedung Kesenian "Rumentang Siang" di-lanjutkan kembali pada tanggal 17 Januari dengan pagelaran Tarling oleh "Putra Sangkala" dari Kota­madya Cirebon dan pagelaran dramaswara "Nyai Dasimah" oleh Rombongan Kesenian "Ganda Me-kar" pimpinan Ma:ig Koko.
Pagelaran Tarling "Putra Sang­kala" malam itu tidaklah sedinamis seperti biasanya. Ceritera yang dipilihnyapun bukanlah ceritera yang "istimewa". Makin terasa bahwa ceritera2 yang melo-dramatis senantiasa lebih cocok ditampilkan oleh Tarling dari pada jenis ceritera lainnya. Agaknya Ajib memang kekurangan waktu dan penggarapa'n yang matang.
Tentang "Nyai Dasimah" karya "Ganda Mekar" yang eksperi-mentil itu ternyata masih terasa tersendat-sendat dalam penam-pilannya. Image kita terhadap karya2 Mang Koko terdahulu seperti Gending Karesmen "Si Kabayan" misalnya, tidak tertan-dingi oleh "Nyai Dasimah". Terasa penat ketika kila menyaksi-kannya. Logat Betawi dengan iringan karawitan Sunda yang dipadu oleh "Ganda Mckar" dalam "Nyai Dasimah", malam itu me-mancing terpecahnya perhatian penonton. Namun bagaimanapun cksperlmen2 harus tetap dilakukan oleh group kesenian yang tidak ingin statis. "Ganda Mekar" dan Mang Koko telah melakukan hal itu. Karcnanya harus terus dikem-bangkan sepanjang "Ganda Me­kar" yakin bahwa eksperimcn itu beranjak dari titik pembe-rangkatan yang benar dan dapat dipertanggung-jawabkan.
Sendratari "Ramayana" karya Rombongan Tari "Bale Bandung" pimpinan Abdul Kodir Ilyas yang dipentaskan pada tanggal 18 Ja­nuari, memang sudah tercetak seperti itu. Tetapi dukungan kara­witan dalam menciptakan suasana yang dikehendaki oleh pagelaran, pada pertunjukan malam itu ti­daklah berhasil benar.
Malam terakhir rangkaian aca­ra peresmian "Rumentang Siang" diisi dengan pagelaran Topeng Cisalak dari Kabupaten Bogor dan Gending Karesmen "Prabu Anom Kean Santang" oleh Lingkung
Seni "Dewi Prarhanik" pimpinan Gumbira Tirasondjaja.
Dalam bentuk, Topeng Cisalak tidaklah berbeda terlampau jauh dengan Topeng Banjet dari Kara­wang. Kalau Topeng Banjet dari Kabupaten Karawang mempergu-nakan bahasa Sunda, maka To­peng Cisalak Kabupaten Bogor mempergunakan bahasa Melayu pasar. Tetapi dalam hal nayaga, Topeng Banjet dari Karawang memang lebih dinamis.
Pagelaran penutup adalah Gen­ding Karesmen "Kean Santang". Sungguh betapa nyamannya kita mendengar alunan tembang Euis Komariah dan kawan2 Kwa vocal, "Dewi Pramanik" memang memi-iiki kemampuan tersendiri. Tetapi sinkronisasi antara vocalis dengan pelaku masih terasa belum padu. Andaikata para pemain mampu menembang sendiri, pertunjukan malam itu tentu akan lebih berhasil. Pemisahan, justru me nyulitkan sinkronisasi. Untuk mencapai perpaduan yang utuh perlu kematangan latihan.
Kelemahan yang nampak pada "Kean Santang" terletak pada kemampuan pemain yang belum berhasil secara sempurna dalam berusaha mengekspresikan ide su­tradara.
Demikianlah. "Rumentang Si­ang" telah diresmikan. Penyem-purnaannya akan terus dilaksana
kan dengan melalui tahapan per-baikan tingkat kedua. Sementara itu adalah merupakan kewajiban kita bersama untuk memelihara dan mengisinya dengan jaenam-pilan karya2 seni yang selektif dan dapat mencerminkan kekaya-an dan keanekaragaman kegiatan seni-budaya Jawa Barat

Kota Bandung dikenal sebagai kota fashion, musik juga seni. Sudah tak terhitung banyak nya seniman yang besar dan lahir di kota Bandung ini, harry roesli, doel sumbang, mang udjo, asep sunandar sunarya dan banyak seniman lain yang besar juga membesarkan namanya di kota Bandung. Jika membicarakan soal seni di kota Bandung maka tidak akan lepas dari “rumentang siang” ya gedung seni yang sering di jadikan “kojo” untuk pageralan atau helaran seni dan budaya di kota Bandung ini.
Gedung yang terletak di kosambi jln. Baranang siang ini sudah berdiri sejak tahun 30’an, awal nya gedung tersebut merupakan gedung pementasan film atau yang lebih kita kenal sebagai “bioskop” yang bernama Rivoli theater. Tepat nya pada tahun 60’an gedung tersebut menjadi milik Pemda setempat dan kemudian berganti nama menjadi “rumentang siang” selain berganti nama berganti pula fungsi, yang semula biasa dipakai untuk memutar film menjadi tempat pementasan seni. Banyak sekali macam-macam kesenian yang pernah di pentaskan di gedung ini seperti musik,tari bahkan theater dan kesenian budaya budaya sunda.
Rumentang siang berperan besar dalam membesarkan nama Bandung sebagai kota seni. Sudah beberapa tahun belakangan ini sekolah Smp dan Sma di kota Bandung mempunyai esktra kulikuler seni sendiri seperti kabaret dan theater yang bahkan beberapa sudah mandiri tampa bantuan dana dari pihak sekolah. Pertama tama pentas di sekolah mempertunjukan aksi mereka di depan teman-teman dan guru-guru yang terus berkembang hingga dikenal sampai di luar sekolah. Hal tersebut di karenakan gedung Rumentang siang berperan sebagai fasilitas mereka dalam mementaskan aksinya untuk umum, sehingga keberlangsungan theater dan cabaret di sekolah mereka berjalan continue dan berkembang. Dengan ini gedung rumenatng siang perlu dijaga dan diperhatikan oleh warga Bandung khusus nya Pemkot Bandung sendiri. Kalau dilihat langsung keadaan gedung Rumentang siang sangat memprihatin kan, selain kondisinya yang kurang terawat juga karema letak nya yang berada di tengah kondisi kepadatan kota yang sembraut. Mudah-mudahan banyak dari kita tersadar untuk menyadari pentingnya menjaga gedung rumentang siang yang merupakan sejarah budaya, baik merawat fisik dari gedung atau membangun lingkungan yang nyaman di sekitar gedung rumentang siang.

 
ProgramerArif Tirtana | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys